Legislasi semu (Pseudo-wetgeving) adalah penciptaan
daripada aturan-aturan hukum oleh pajabat administrasi negara yang berwenang
yang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis pedoman (richtlijnen) pelaksanaan policy
(kebijakan) untuk menjalankan suatu ketentuan undang-undang, akan tetapi
dipublikasikan secara luas. Dengan demikian, maka timbulah semacam hukum
bayangan (spiegelrecht) yang
membayangi undang-undang atau hukum yang bersangkutan. Legislasi semu merupakan
garis-garis kebijakan intern pejabat administrasi negara.
Kewenangan Pemerintah sebagai administrator, atau dengan perkataan lain kewenangan administrasi negara untuk membuat peraturan-peraturan (rule making power) memang dimana-mana merupakan salah satu masalah yang besar. Salah satu masalah pokoknya adalah bagaimana membuat Administrasi Negara tidak membuat peraturan-peraturan yang mempunyai akibat politik atau konstitusional yang luas. Kewenangan administrasi Negara untuk membuat peraturan menjadi tiga macam yakni penjabaran secara normative daripada ketentuan-ketentuan undang-undang/perundang-undangan menjadi peraturan-peraturan (administrative), interpretasi dari pada pasal-pasal undang-undang yang dijadikan peraturan-peratuan atau instruksi dinas, dan penentuan atau penciptaan daripada kondisi-kondisi nyata untuk membuat ketentuan-ketentuan undang-undang dapat direalisasikan. Di negara aglo saxon pembuatan peraturan-peratuan oleh administrasi negara tersebut disebut administrative legislation atau delegated legislation atau ordinance making.
Guna mencegah penyalahgunaan
kekuasaan administrasi negara dan untuk mencegah pelanggaran konstitusional
maka perlu ada beberapa ketegasan mengenai pelimpahan membuat peraturan
tersebut diatas sebagai berikut:
1.
Undang-undang
harus menetapkan asas-asas dan premis-ppremis (prakondisi) mana yang tidak
boleh dijabarkan atau diintrepretasikan lebih lanjut.
2.
Pendelegasian
dibatasi dengan tegas yakni dengan menetapkan dalam pasal yang bersangkutan
butir atau hal pa yang didelegasikan, menetapkan dalam pasal undang-undang yang
bersangkutan semacam pedoman (policy
guidance) berupa standar atau kriterium untuk pejabat administrasi negara
yang bersangkutan.
3.
Mensyaratkan
dengan undang-undang (dalam salah satu pasalnya) agar supaya sebelumnya
diadakan studi atau penelitian yang secukupnya.
4.
Undang-undang
menetapkan jenis dan beratnya sanksi hukum bagi pelanggaran daripada peraturan
Administrasi Negara tersebut;
5.
Pelimpahan
hanya dilakukan oleh Pejabat Pemerintah atau Administrasi Negara.
6.
Undang-undang
menetapkan diadakannya badan atau instansi untuk menampung keluhan, pengaduan
atau gugutan.
Dirangkum dari Bukum
Hukum Administrasi Negara, Prof Prayudi Admosudirdjo
0 komentar:
Posting Komentar