6.27.2013

LEGISLASI SEMU (PSEUDO-WETGEVING)


Legislasi semu (Pseudo-wetgeving) adalah penciptaan daripada aturan-aturan hukum oleh pajabat administrasi negara yang berwenang yang sebenarnya dimaksudkan sebagai garis pedoman (richtlijnen) pelaksanaan policy (kebijakan) untuk menjalankan suatu ketentuan undang-undang, akan tetapi dipublikasikan secara luas. Dengan demikian, maka timbulah semacam hukum bayangan (spiegelrecht) yang membayangi undang-undang atau hukum yang bersangkutan. Legislasi semu merupakan garis-garis kebijakan intern pejabat administrasi negara.

Kewenangan Pemerintah sebagai administrator, atau dengan perkataan lain kewenangan administrasi negara untuk membuat peraturan-peraturan (rule making power) memang dimana-mana merupakan salah satu masalah yang besar. Salah satu masalah pokoknya adalah bagaimana membuat Administrasi Negara tidak membuat peraturan-peraturan yang mempunyai akibat politik atau konstitusional yang luas. Kewenangan administrasi Negara untuk membuat peraturan menjadi tiga macam yakni penjabaran secara normative daripada ketentuan-ketentuan undang-undang/perundang-undangan menjadi peraturan-peraturan (administrative), interpretasi dari pada pasal-pasal undang-undang yang dijadikan peraturan-peratuan atau instruksi dinas, dan penentuan atau penciptaan daripada kondisi-kondisi nyata untuk membuat ketentuan-ketentuan undang-undang dapat direalisasikan.  Di negara aglo saxon pembuatan peraturan-peratuan oleh administrasi negara tersebut disebut administrative legislation atau delegated legislation atau ordinance making.
Guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan administrasi negara dan untuk mencegah pelanggaran konstitusional maka perlu ada beberapa ketegasan mengenai pelimpahan membuat peraturan tersebut diatas sebagai berikut:
1.     Undang-undang harus menetapkan asas-asas dan premis-ppremis (prakondisi) mana yang tidak boleh dijabarkan atau diintrepretasikan lebih lanjut.
2.     Pendelegasian dibatasi dengan tegas yakni dengan menetapkan dalam pasal yang bersangkutan butir atau hal pa yang didelegasikan, menetapkan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan semacam pedoman (policy guidance) berupa standar atau kriterium untuk pejabat administrasi negara yang bersangkutan.
3.     Mensyaratkan dengan undang-undang (dalam salah satu pasalnya) agar supaya sebelumnya diadakan studi atau penelitian yang secukupnya.
4.     Undang-undang menetapkan jenis dan beratnya sanksi hukum bagi pelanggaran daripada peraturan Administrasi Negara tersebut;
5.     Pelimpahan hanya dilakukan oleh Pejabat Pemerintah atau Administrasi Negara.
6.     Undang-undang menetapkan diadakannya badan atau instansi untuk menampung keluhan, pengaduan atau gugutan.


Dirangkum dari Bukum Hukum Administrasi Negara, Prof Prayudi Admosudirdjo

0 komentar: