12.22.2012

Norma Hukum



Norma atau kaidah didefinisikan merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif maupun yang bersifat negative sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan sesuatu dan tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melaksanakan atau perintah untuk tidak tidak melakukan sesuatu. 
Apabila ditinjau dari etimologi  kata norma berasal dari bahasa latin sedangkan kaidah berasal dari bahasa arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan istilah The law.
Sedangkan kaidah dalam bahasa arab, qoidah berarti ukuran atau nilai pengukur. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud berisi tentang:
a.       Kebolehan atau yang dalam bahasa arab diterjemahkan sebagai ibahah, mubah (permittere);
b.      Anjuran positif untuk menerjemahkan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut sunnah;
c.       Anjuran negative untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut “makruh”
d.      Perintah positif untuk melaksanakan sesuatu atau kewajiban (obligattere);
e.   Perintah negatih untuk tidak melaksanakan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut “haram” atau larangan (prohibere).
Dunia huku barat memngklasifikasikan norma-norma kedalam tiga macam bentuknya yaitu
a.       Obligattere;
b.      Prohibere
c.       Permittere
Akan tetapi di Indonesia dengan meminjam teori fiqh, norma terdiri atas lima macam sebagai berikut:
a.       Halal atau mubah (permittere);
b.      Sunnah;
c.       Makruh;
d.      Wajib (Oblogattere);
e.      Haram (prohibere):

Dalam system ajaran islam, kelima kaidah tersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akan tetapi secara sempit norma dapat diklasifikasikan sebagai norma agama, sistem norma hukum, dan sistem norma kesusilaan. Norma etika atau norma kesusilaan dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah (Permitte), sunah dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaidah mubah (permitte, mogen) kewajiban atau suruhan (obligattere, gebod) dan larangan (prohibere, verbod).

Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit (sittlichkeit) hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi (Internal life). Karena itu kaidah semacam ini disebut juga dengan kesusilaan pribadi. Kesusilaan juga dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama dan kaidah sopan santun ataupun adat istiadat yang merupakan kaidah kesusilaan antar pribadi.

Ketiga kaidah apabila dibandingkan satu dengan yang lainnya, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam arti vertical dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan (pribadi) bertujuan untuk membentuk akhlak pribadi, dan kaidah kesusilaan antar pribadi bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup antar pribadi. Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang bersifat volunteer (yaitu berasal dari kesadaran pribadi dari dalam diri pendukung dari kaidah itu sendiri). Artinya daya lakunya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam diri sendiri (imposed from within). Berlainan dengan itu, kaidah hukum (legal form) justru dipaksakan dari luar (imposed from wiyh out).

Dari segi tujuan, kaidah hukum atau norma hukum itu bertujuan kepada cita-cita perdamaian hidup antar pribadi (het recht wil de urede). Karena itu, penegak hukum itu dikatakan bahwa penegak hukum itu bekerja “to preserve peace” atau menegakan perdamaian. Dalam kedamaian selalu terdapat “orde en rust”. Orde menyangkut ketertiban dan keamanan, sedangkan rust menyangkut ketentraman dan ketenangan. Orde berkaitan dengan dimensi lahiriah sedangkan rust berkaitan dengan dimensi batiniah. Keadaan damai yang menjadi tujuan akhir dari norma hukum terletak pada keseimbangan antara orde dan rust itu sendiri. Yaitu antara dimensi lahiriah dan batiniah yang manghasilakan keseimbangan ketertiban dan ketentraman, keamanan dan ketenangan.

Tujuan dari kaidah hukum adalah mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty),  keadilan (equity), dan kebergunaan (utility)

Kaidah hukum juga dapat dibedakan antara yang bersifat imperative dan yang bersifat fakultatif. Yang bersifat fakultatif biasa disebut dengan hukum yang bersifat memaksa, sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang menambah. Kadanga-kadang terdapat kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran tau yang sekaligus memaksa.

Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara kaidah yang bersifat umum dan abstrak dan kaidah yang bersifat konkret dan individual. Kaidah umum selalau bersifat abstrak karena ditujukan untuk kepada semua subyek yang terkait tanpa menunjuk atau mengkaitkan dengan subyek konkret, pihak atau individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan terkait. Sementara itu, kaidah hukum individual selalu bersifat konkret. Kaidah ini ditujukan untuk kepada orang-orang tertentu, pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu.

Terhadap berbagai bentuk norma hukum tersebut dapat dilakukan control atau pengawasan melalui apa yang biasa disebut sebagai mekanisme control terhadap norma hukum (legal norm control mechanism). Control terhadap norma hukum itu dapat dilakukan melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administrative, atau melalui control hukum (judicial). Control politik dilakukan oleh lembaga politik misalnya oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat atau parlemen, dalam hal ini mekanisme kontrolnya disebut legislative control atau legislative review.

Demikian pula, apabila upaya control oleh norma hukum dapat dilakukan oleh lembaga administrative yang menjalankan fungsi “bestuur” di bidang eksekutif. Badan-badan yang memang secara langsung diberi delegasi kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan undang-undang bersangkutan dapat saja mengambil prakarsa untuk mengevaluasi dan apabila diperlukan memprakrasai usaha untuk mengadakan perbaikan atau perubahan atas undang-undang yang bersangkutan. Jika upaya yang dimaksud bertjung pada kebutuhan untuk mengubah atau merevisi isi undang-undang, maka tentunya lembaga eksekutif dimaksud berwenang melakukan langkah-langkah sehingga perubahan itu dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Mekanisme control semacam ini disebut “administrative control” atau “executive review”.
Sementara itu, control terhadap norma hukum tersebut (norms control) dinamakan legal control atau judicial control atau judicial review jika mekanismenya dilaksanakan oleh pengadilan. Pada pokoknya kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) hanya dapat dikontrol melalui mekanisme hukum judicial review oleh pengadilan.

Masing-masing Negara memiliki perbedanaan dalam mengorganisir sistem peradilannya. Terdapat dua jenis sistem peradilan didunia yakni sistem terpusat (centralized system) dan sistem tersebar (decentralized system). Sistem terpusat didefinisikan sebagai sistem hukum yang memusatkan control pada Makamah Agung, Makamah Konstitusi, dan lembaga khusus lainnya. Sedangkan sistem tersebar menjadikan setiap badan badan peradilan dapat melakukan pengujian disetiap lembaga peradilan yang ada di daerah-daerah.

Sementara itu kaidah hukum yang bersifat konkret dan individual juga dapat dilakukan control hukum oleh pengadilan. Dalam hal ini, jika norma hukum itu berbentuk keputusan atau ketetapan yang bersifat beshikking, pengawasan atau pengujiannya dilakukan oleh pengadilan tata usaha Negara (administratieve rechtspraak). Sedangkan norma hukum lainnya yang berupa vonnis atau putusan pengadilan dapat diawasi atau dikontrol oleh pengadilan tingkat yang lebih tinggi. Putusan pengadilan tingkat pertama dapat diuji pada tingkat banding. Putusan pengadilan tingkat banding dapat diuji dengan pengadilan tingkat kasasi, pengadilan tingkat kasasi dapat dilakukan dengan pengujian peninjauan kembali.

(Disajikan kembali dari buku Perihal Undang-undang karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.)

0 komentar: