Norma atau kaidah didefinisikan
merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang
berisi kebolehan, anjuran atau perintah. Baik anjuran maupun perintah dapat
berisi kaidah yang bersifat positif maupun yang bersifat negative sehingga
mencakup norma anjuran untuk mengerjakan sesuatu dan tidak mengerjakan sesuatu,
dan norma perintah untuk melaksanakan atau perintah untuk tidak tidak melakukan
sesuatu.
Apabila ditinjau dari
etimologi kata norma berasal dari bahasa
latin sedangkan kaidah berasal dari bahasa arab. Norma berasal dari kata nomos
yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya
plato yang berjudul Nomoi biasa diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan
istilah The law.
Sedangkan kaidah dalam bahasa arab, qoidah berarti ukuran atau nilai
pengukur. Jika pengertian norma atau kaidah sebagai pelembagaan nilai itu
dirinci, kaidah atau norma yang dimaksud berisi tentang:
a. Kebolehan
atau yang dalam bahasa arab diterjemahkan sebagai ibahah, mubah (permittere);
b. Anjuran
positif untuk menerjemahkan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut sunnah;
c. Anjuran
negative untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab disebut
“makruh”
d. Perintah
positif untuk melaksanakan sesuatu atau kewajiban (obligattere);
e. Perintah
negatih untuk tidak melaksanakan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut “haram”
atau larangan (prohibere).
Dunia huku barat memngklasifikasikan norma-norma kedalam tiga macam
bentuknya yaitu
a. Obligattere;
b. Prohibere
c. Permittere
Akan tetapi di Indonesia dengan meminjam teori fiqh, norma terdiri
atas lima macam sebagai berikut:
a. Halal
atau mubah (permittere);
b. Sunnah;
c. Makruh;
d. Wajib
(Oblogattere);
e. Haram
(prohibere):
Dalam system ajaran islam, kelima
kaidah tersebut sama-sama disebut sebagai kaidah agama. Akan tetapi secara
sempit norma dapat diklasifikasikan sebagai norma agama, sistem norma hukum,
dan sistem norma kesusilaan. Norma etika atau norma kesusilaan dapat dikatakan
hanya menyangkut kaidah mubah (Permitte),
sunah dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaidah mubah (permitte, mogen) kewajiban atau suruhan
(obligattere, gebod) dan larangan (prohibere, verbod).
Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika
dalam arti sempit (sittlichkeit)
hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbul dalam kehidupan pribadi (Internal life). Karena itu kaidah
semacam ini disebut juga dengan kesusilaan pribadi. Kesusilaan juga dimaksudkan
untuk menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama dan kaidah sopan santun
ataupun adat istiadat yang merupakan kaidah kesusilaan antar pribadi.
Ketiga kaidah apabila
dibandingkan satu dengan yang lainnya, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam
arti vertical dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah
kesusilaan (pribadi) bertujuan untuk membentuk akhlak pribadi, dan kaidah
kesusilaan antar pribadi bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup antar
pribadi. Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang bersifat volunteer (yaitu berasal dari kesadaran
pribadi dari dalam diri pendukung dari kaidah itu sendiri). Artinya daya
lakunya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh dari dalam diri
sendiri (imposed from within).
Berlainan dengan itu, kaidah hukum (legal
form) justru dipaksakan dari luar (imposed
from wiyh out).
Dari segi tujuan, kaidah hukum
atau norma hukum itu bertujuan kepada cita-cita perdamaian hidup antar pribadi
(het recht wil de urede). Karena itu,
penegak hukum itu dikatakan bahwa penegak hukum itu bekerja “to preserve peace” atau menegakan
perdamaian. Dalam kedamaian selalu terdapat “orde en rust”. Orde menyangkut
ketertiban dan keamanan, sedangkan rust menyangkut
ketentraman dan ketenangan. Orde berkaitan
dengan dimensi lahiriah sedangkan rust berkaitan dengan dimensi batiniah. Keadaan damai yang menjadi
tujuan akhir dari norma hukum terletak pada keseimbangan antara orde dan rust
itu sendiri. Yaitu antara dimensi lahiriah dan batiniah yang manghasilakan
keseimbangan ketertiban dan ketentraman, keamanan dan ketenangan.
Tujuan dari kaidah hukum adalah mewujudkan
kepastian, keadilan, dan kebergunaan. Artinya setiap norma hukum itu haruslah
menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty), keadilan (equity), dan kebergunaan (utility)
Kaidah hukum juga dapat dibedakan antara yang
bersifat imperative dan yang bersifat fakultatif. Yang bersifat fakultatif
biasa disebut dengan hukum yang bersifat memaksa, sedangkan yang bersifat
fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang
menambah. Kadanga-kadang terdapat kaidah-kaidah hukum yang bersifat campuran
tau yang sekaligus memaksa.
Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara kaidah
yang bersifat umum dan abstrak dan kaidah yang bersifat konkret dan individual.
Kaidah umum selalau bersifat abstrak karena ditujukan untuk kepada semua subyek
yang terkait tanpa menunjuk atau mengkaitkan dengan subyek konkret, pihak atau
individu tertentu. Kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak inilah yang
biasanya menjadi materi peraturan hukum yang berlaku bagi setiap orang atau
siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan terkait. Sementara itu, kaidah hukum individual selalu
bersifat konkret. Kaidah ini ditujukan untuk kepada orang-orang tertentu,
pihak, atau subjek-subjek hukum tertentu.
Terhadap berbagai bentuk norma hukum tersebut
dapat dilakukan control atau pengawasan melalui apa yang biasa disebut sebagai
mekanisme control terhadap norma hukum (legal
norm control mechanism). Control terhadap norma hukum itu dapat dilakukan
melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administrative, atau
melalui control hukum (judicial). Control politik dilakukan oleh lembaga
politik misalnya oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat atau parlemen, dalam hal
ini mekanisme kontrolnya disebut legislative
control atau legislative review.
Demikian pula,
apabila upaya control oleh norma hukum dapat dilakukan oleh lembaga administrative
yang menjalankan fungsi “bestuur” di
bidang eksekutif. Badan-badan yang memang secara langsung diberi delegasi
kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan undang-undang bersangkutan
dapat saja mengambil prakarsa untuk mengevaluasi dan apabila diperlukan
memprakrasai usaha untuk mengadakan perbaikan atau perubahan atas undang-undang
yang bersangkutan. Jika upaya yang dimaksud bertjung pada kebutuhan untuk
mengubah atau merevisi isi undang-undang, maka tentunya lembaga eksekutif
dimaksud berwenang melakukan langkah-langkah sehingga perubahan itu dapat
dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Mekanisme control semacam ini disebut “administrative control” atau “executive
review”.
Sementara
itu, control terhadap norma hukum tersebut (norms
control) dinamakan legal control atau
judicial control atau judicial review jika mekanismenya dilaksanakan oleh
pengadilan. Pada pokoknya kaidah hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) hanya dapat
dikontrol melalui mekanisme hukum judicial
review oleh pengadilan.
Masing-masing
Negara memiliki perbedanaan dalam mengorganisir sistem peradilannya. Terdapat dua
jenis sistem peradilan didunia yakni sistem terpusat (centralized system) dan sistem tersebar (decentralized system). Sistem terpusat didefinisikan sebagai sistem
hukum yang memusatkan control pada Makamah Agung, Makamah Konstitusi, dan
lembaga khusus lainnya. Sedangkan sistem tersebar menjadikan setiap badan badan
peradilan dapat melakukan pengujian disetiap lembaga peradilan yang ada di
daerah-daerah.
Sementara itu
kaidah hukum yang bersifat konkret dan individual juga dapat dilakukan control hukum
oleh pengadilan. Dalam hal ini, jika norma hukum itu berbentuk keputusan atau
ketetapan yang bersifat beshikking,
pengawasan atau pengujiannya dilakukan oleh pengadilan tata usaha Negara (administratieve rechtspraak). Sedangkan norma
hukum lainnya yang berupa vonnis atau
putusan pengadilan dapat diawasi atau dikontrol oleh pengadilan tingkat yang
lebih tinggi. Putusan pengadilan tingkat pertama dapat diuji pada tingkat
banding. Putusan pengadilan tingkat banding dapat diuji dengan pengadilan
tingkat kasasi, pengadilan tingkat kasasi dapat dilakukan dengan pengujian
peninjauan kembali.
(Disajikan
kembali dari buku Perihal Undang-undang karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.)
0 komentar:
Posting Komentar