12.28.2012

Hukum sebagai produk keputusan



Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi sumbyek-subyek hukum yang terkait dengan keputusan itu.
Terdapat tiga bentuk keputusan hukum sebagai berikut:

  1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “Peraturan”. 
  2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschukkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administrative ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain.
  3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vobbis).


Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain dari lembaga legislative yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewengan ekslusif pada wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the souvereign people). Namun demikian cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat umum, apabila wakil rakyat tersendiri telah memberikan persetujuan dalam undang-undang. Karena itu, apabila mendapat pendelegasian kewenangan, cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif dapat juga membuat suatu peraturan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kewenangan mengatur dimiliki oleh cabang kekuasaan legislative, cabang kekuasaan eksekutif, dan cabang kekuasaan judikatif.

Sistem hukum masing-masing negara memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu sistem preseden (common law) dan sistem civil law. Dalam sistem preseden putusan hakim (vonnis)  menjadi sumber hukum utama. Sesuai dengan doktrin ‘stare decisis’, putusan hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakhm dikemudian hari. Sedangkan sivil law  mengutamakan ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Statutory Law  dapat dibedakan antara yang utama (primary legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Yang utama disebut dengan legislative acts,  sedangkan yang kedua disebut dengan executive acts or delegated legislations or subordinate legislations. Prinsip statutory law menghendaki agar hukum sudah terlebih dahulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakan oleh aparat penegak hukum dan penegakan di pengadilan. Akan tetapi the judiciary law atau disebut case law bekerja secara restroprektif yaitu diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa sebelum norma itu sendiri ditetapkan. Pada statutory law legislasi dapat dibuat dalam rangka mengantisipasi kasus-kasus yang belum terjadi, sedangkan sistem precedent harus lebih dahulu menunggu terjadinya perselesihan sebelum pengadilan dapat membuat putusan yang bernilai dalam rangka rule of law. Case law memiliki kelebihan yakni moralitas pengadilan lebih tinggi dari pada moralitas politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu hukum buatan hakim lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran dari pada hukum buatan politisi. 

0 komentar: