Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan
keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat
subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum
yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan
pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan
yang mengikat secara hukum bagi sumbyek-subyek hukum yang terkait dengan
keputusan itu.
Terdapat tiga bentuk keputusan hukum sebagai
berikut:
- Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan itu sudah seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “Peraturan”.
- Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschukkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administrative ini sebaiknya hanya dimungkinkan untuk “Keputusan” atau “Ketetapan”, bukan dengan istilah lain.
- Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vobbis).
Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain
dari lembaga legislative yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewengan
ekslusif pada wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan suatu peraturan yang
mengikat dan membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the souvereign
people). Namun demikian cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat pula memiliki
kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat umum,
apabila wakil rakyat tersendiri telah memberikan persetujuan dalam
undang-undang. Karena itu, apabila mendapat pendelegasian kewenangan, cabang
kekuasaan eksekutif dan yudikatif dapat juga membuat suatu peraturan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kewenangan mengatur dimiliki oleh cabang kekuasaan
legislative, cabang kekuasaan eksekutif, dan cabang kekuasaan judikatif.
Sistem hukum masing-masing negara memiliki
perbedaan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar terbagi menjadi dua
yaitu sistem preseden (common law) dan
sistem civil law. Dalam sistem
preseden putusan hakim (vonnis) menjadi sumber hukum utama. Sesuai dengan
doktrin ‘stare decisis’, putusan
hakim terdahulu secara otomatis langsung mengikat bagi hakhm dikemudian hari.
Sedangkan sivil law mengutamakan ‘statutory law’ atau undang-undang tertulis. Statutory Law dapat
dibedakan antara yang utama (primary
legislations) dan yang sekunder (secondary
legislations). Yang utama disebut dengan legislative acts, sedangkan
yang kedua disebut dengan executive acts
or delegated legislations or subordinate legislations. Prinsip statutory law menghendaki agar hukum
sudah terlebih dahulu diketahui oleh umum, sebelum hukum itu ditegakan oleh
aparat penegak hukum dan penegakan di pengadilan. Akan tetapi the judiciary law atau disebut case law bekerja secara restroprektif
yaitu diberlakukan terhadap fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa sebelum norma
itu sendiri ditetapkan. Pada statutory
law legislasi dapat dibuat dalam rangka mengantisipasi kasus-kasus yang
belum terjadi, sedangkan sistem precedent
harus lebih dahulu menunggu terjadinya perselesihan sebelum pengadilan
dapat membuat putusan yang bernilai dalam rangka rule of law. Case law memiliki kelebihan yakni moralitas pengadilan
lebih tinggi dari pada moralitas politisi di parlemen untuk menetapkan suatu
hukum. Karena itu hukum buatan hakim lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran
dari pada hukum buatan politisi.
0 komentar:
Posting Komentar