BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setiap daerah berhak mengatur pembangunan di daerah berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Didalam pelaksanaannya terdapat pembagian-pembagian urusan
pemerintahan. Urusan pemerintahan didefinisikan fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak
dan
kewajiban setiap
tingkatan dan/atau susunan pemerintahan
untuk mengatur dan mengurus
fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi,
melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
Misi utama kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya keinginan melimpahkan
kewenangan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang
lebih penting adalah peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber
daya keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat.
Kebijakan desentralisasi yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab
kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan
lokal bangsa Indonesia, seperti disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan
rendahnya pembangunan sumber daya manusia. Kedua,
desentralisasi dapat memperkuat basis perekonomian daerah (Ika Jayanti, Sjamsiar Sjamsuddin, Abdul Wachid:
Jurnal Administrasi
Publik
(JAP), Vol. 2, No.2). Lahirnya Otonomi Daerah memiliki makna yang strategis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan mampu mendorong
demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk
mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam menata dan
membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa (Joko
Triwiyatno). Otonomi Daerah
dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen mengenai pemerintahan,
dalam pemberian kewenangan dan kemandirian pengambilan keputusan serta
pengelolaan urusan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pembagian kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah membawa konsekwensi bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban
menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Didalam pelaksanaan
kewenangan dimaksud pemerintah daerah membiayai aktifitasnya dengan sumber dana
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya desentralisasi mengharuskan sistem pengelolaan keuangan
daerah
dikelola mandiri oleh pemerintah
daerah. Hal ini tertuang dalam Undang-undang No. 33
Tahun
2004
tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diberlakukannya
Undang-undang tersebut telah
melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan
keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menjelaskan
tentang definisi Keuangan daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat
dinilai dengan uang termasuk didalamnya
segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dijelaskan dalam pasal
1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah.
Keseluruhan aktivitas pengelolaan keuangan yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
keuangan daerah
dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Indeks Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2015 Badan
Pemeriksa Keuangan memuat ringkasan dari 666 objek pemeriksaan, terdiri atas:
117 objek pada pemerintah pusat; 518 objek pemerintah daerah dan BUMD; serta 31
objek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya, terdiri atas:
607 objek pemeriksaan keuangan, 5 pemeriksaan kinerja, dan 54 pemeriksaan
dengan tujuan tertentu. Dari pemeriksaan atas 666 objek pemeriksaan tersebut,
BPK menemukan sebanyak 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan, yang
meliputi 7.890 (51,12%) masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan senilai Rp 33.46 triliun dan 7.544 (48,88%) masalah
kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Dari masalah ketidakpatuhan
tersebut, sebanyak 4.609 masalah berdampak pada pemulihan keuangan
negara/daerah/perusahaan (atau berdampak finansial) senilai Rp 21.62 triliun.
Selama semester I tahun 2015 BPK memeriksa 504 laporan keuangan pemda atau
sebanyak 93,51% LKPD dari 539 pemerintah daerah yang wajib menyusun laporan keuangan
(LK). Hal ini mengalami perkembangan dari tahun sebelumnya yang dimuat dalam
IHPS I Tahun 2014 yaitu sebanyak 456 (87,02%) LHP LKPD dari 524 pemerintah
daerah yang wajib menyusun LKPD Tahun 2013. LKPD tahun 2013 yang memperoleh
opini WTP sebanyak 29,96%, dan tahun 2014 meningkat menjadi 49,80%.
Kondisi yang lain, Kementerian Dalam Negeri mencatat
sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat
kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota,
bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004
hingga 2012, Kementerian mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati. Kementerian
juga mencatat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat
korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh
Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat
kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat
kasus (Tempo.com).
Pelaksanaan otonomi daerah menutut
pemerintah daerah lebih transparan dalam pelaksanaan keuangan daerah.
Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan undang-undang harus
di informasikan kepada publik baik pada saat perencanaan, pelaksanaan ataupun
pertanggungjawaban. Oleh karena itu menjadi penting bagi pemerintah daerah
untuk menyusun sistem pengelolaan daerah yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk menghindari resiko hukum dikemudian hari. Memperhatikan
latar belakang permasalahan dapat diambil judul Membangun
Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Profesional,
Transparan Dan Akuntabel Dalam Menunjang Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah.
2. RUMUSAN MASALAH
Adapun
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah
Cara Membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan
dan akuntabel?
b. Bagaimanakah
Korelasi Pengelolaan Keuangan Daerah yang Transparan, dan akuntabel dengan
Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah?
3. TUJUAN PENULISAN
Adapun
tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui
Cara Membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel?
b. Mengetahui
Korelasi Pengelolaan Keuangan Daerah yang Transparan, dan akuntabel dengan
Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah?
BAB II
ISI
2.1
Membangun
sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel
Profesionalisme
adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para
anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas
profesionalnya. Seorang yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan
tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan
peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu
mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga
keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional. Biasanya dipahami sebagai
suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri
profesionalisme adalah sebagai berikut:
- Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi
- Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan
- Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya
- Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
Transparansi adalah
keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu
kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan lembaga pendidikan,
yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan
pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bias memudahkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengetahiunya (Surya Darma,2007). Transparansi
juga diartikan sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang
untuk memperoleh
informasi tentang penye-
lenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan
dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
Berikut beberapa
tujuan dari penerapan prinsip transparansi menurut Widodo
(2001, h.19):
a.
Memberikan kemudahan bagi pihak-pihak
yang berkesempatan
untuk mendapatkan
informasi
sebagai acuan untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan.
b.
Membangun sikap positif stakeholder dan
terhindarkan dari sikap apriori terhadap
program-program
pembangunan daerah yang dibiayai oleh DAK (Dana Alokasi
Khusus) akibat keterbatasan informasi maupun oleh
adanya informasi-informasi yang keliru.
c.
Menciptakan
ketersediaan
informasi sehingga
terbuka
peluang yang mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan daerah.
Transparansi pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sejalan dengan semangat transparansi pengelolaan keuangan daerah pemerintah
dituntut untuk menyiapkan segala bentuk infrastruktur dan Sumber Daya Manusia
yang memadai untuk menjalankan scenario dimaksud. Dalam perjalanan
penyelenggaraan pemerintahan yang transparan penuh dengan dinamika yang
dibutukan kekhususan penanggannya. Pemberian informasi kepada public merupakan
kewajiban yang tidak dapat ditawar. Pemerintah daerah diwajibkan memberikan
informasi kepada public sebagaimana diatur di dalam peraturan
perundang-undangan. Berikut ini dapat disampaikan perihal peraturan pelaksanaan
dalam rangka penyelenggaraan transparansi pengelolaan sebagai berikut;
1. Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dinyatakan bahwa
penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada
pasal 11 meliputi;
a. Penyajian informasi anggaran, pelaksanaan anggaran, dan
pelaporan keuangan daerah dihasilkan oleh Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan
Daerah .
b. Penyajian Informasi Keuangan Daerah melalui sistus resmi
Pemerintah Daerah;
c. Penyediaan Informasi Keuangan Daerah dalam rangka mendukung
SIKD secara nasional;
2. Pasal 4 ayat 5 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 menjelaskan bahwa Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah;
3. Pasal 6 ayat (4)
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 menjelaskan bahwa Standar Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah;
4. Pasal 10 Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 menjelaskan
bahwa pada saat Peraturan Menteri ini berlaku;
(1) Peraturan kepala daerah yang mengatur kebijakan akuntansi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (5) dan peraturan kepala
daerah yang mengatur Standar Akuntansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) ditetapkan paling lambat
tanggal 31 Mei 2014;
(2) Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis akrual pada
Pemerintah Daerah paling lambat mulai
tahun anggaran 2015;
5. Lampiran I Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, Pernyataan No. 10 Tentang Koreksi Kesalahan,
Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang
tidak dilanjutkan paragraph ke 52 dinyatakan bahwa dalam hal entitas pelaporan
belum dapat menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Berbasis Akrual ini,
entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP
berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4
(empat) tahun setelah anggaran tahun 2010;
6. Lampiran II Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang
Standar Akuntansi Pemerintah, Pernyataan No. 1 Tentang Penyajian Laporan
Keuangan paragraph 107 dinyatakan bahwa
Standar Akuntansi Pemerintahan ini dapat diberlakukan untuk laporan keuangan
atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran sampai tahun anggaran 2014;
7. Pasal 113 ayat (1)
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2007 Tentang
Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah
menyusun sistem akuntansi pemerintah
daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintah;
Menurut
keputusan Kepala Lembaga
Administrasi Negara (LAN) No.589/IX/6/Y/99 dalam Sitompul (2003), akuntabilitas diartikan sebagai
kewajiban untuk memberikan
pertanggungjawaban atau untuk
menjawab dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang/badan
hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada
pihak yang memiliki hak/ berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Oleh
karena itu, pemberlakuan
undang-undang otonomi
daerah harus dapat meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat memberikan laporan pertanggung jawaban
mengenai pengelolaan
keuangan daerah dari segi efisiensi
dan efektivitas kepada DPRD maupun
masyarakat luas.
Osborne (1992) dalam
Mardiasmo (2002)
menyatakan bahwa
Akuntabilitas ditujukan untuk mencari
jawaban terhadap
pertanyaan yang berhubungan
dengan pelayanan
apa, siapa,
kepada
siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain,
apa yang
harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai
bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah
pertanggungjawaban
berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai,
dan lain sebagainya.
Konsep pelayanan ini
dalam
akuntabilitas belum
memadai,
maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang
melaksanakan akuntabilitas.
Menurut
Mardismo (2004), akuntabilitas publik
keuangan daerah
adalah pemberian informasi
dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja
keuangan daereah kepada semua
pihak yang berkepentingan (stakeholder)
sehingga
hak-hak
publik,
yaitu hak untuk tau (right
to know),
hak untuk diberi informasi (right to be
kept
information), dan
hak untuk
didengar aspirasinya (right to be heard and to
be listened to)
dapat terpenuhi.
Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa
akuntabilitas publik meliputi
akuntabilitas internal dan akuntabilitas
eksternal. Akuntabilitas
internal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak internal yang
berkepentingan seperti pegawai,
pejabat pengelola keuangan negara, dan badan
legislatif. Sedangkan akuntabilitas eksternal adalah pertanggungjawaban kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan,
seperti pembayar pajak,
media
massa, pemberi dana bantuan, dan investor atau
kreditor.
Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa
Kepala Daerah
merupakan pengelola
keuangan daerah. Untuk membantu Kepala Daerah dalam mengelola keuangan daerah dimaksud,
sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Biro/Bagian Keuangan
selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah daerah
kepemilikan
kekayaan
daerah yang dipisahkan, serta
kepada Kepala Satuan Kerja/Dinas selaku pengguna
anggaran.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sebagai bentuk
akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Pada setiap akhir tahun anggaran dan periode
pemerintahan Kepala Daerah wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban yang
disampaikan kepada DPRD sebagai
wakil dari masyarakat yang
telah mempercayakan pengelolaan sumber daya daerah. Undang-undang republik
Indonesia Nomor
32
Tahun 2004 pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa
kepala daerah menyampaikan
rancangan Perda
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling
lambat 6
bulan setelah tahun
anggaran
berakhir. Pada ayat
2 disebutkan bahwa
laporan keuangan
sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 meliputi Laporan Keuangan
APBD, Neraca, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang
dilampiri dengan laporan
keuangan
Badan Usaha Milik Daerah.
a.
Penataan
Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum
Berikut disajikan beberapa Undang-Undang serta peraturan yang berkenaan
dengan pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:
1. UU No. 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. UU No.
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
4. UU No. 20 Tahun 1997
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
5. UU No.
33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
6. PP No. 58 Tahun 2005
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah:
7. PP No.
14 Tahun 2005
Tentang Tata cara
penghapusan Piutang
8. Negara/Daerah dan Perubahannya oleh PP No. 33 Tahun 2006
9.
PP No. 57 Tahun 2005
Tentang Hibah kepada Daerah (Pelaksanaan Pasal 45, UU No. 33 Tahun 2004).
10. PP No. 54 Tahun 2005 Tentang Pinjaman Daerah
11. PP No. 71 Tahun 2010
Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang merupakan
amandemen PP No. 24 Tahun 2005 tentang hal yang sama.
12. Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum: PP No. 23
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan layanan Umum.
13. Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
14. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah di ubah oleh Permendagri No. 59 Tahun 2007
serta di ubah oleh Permendagri No. 21
Tahun 2011.
Dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan pembantuan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Urusan Wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
bersekala kabupaten/kota meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian
pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan;
7. penanggulangan masalah sosial;
- pelayanan bidang ketenagakerjaan;
- fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
- pengendalian lingkungan hidup;
- pelayanan pertanahan;
- pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
- pelayanan administrasi umum pemerintahan;
- pelayanan administrasi penanaman modal;
- penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
- urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pemerintah daerah berwenang dalam melaksanakan perencanaan
dan pembangunan daerah. Pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk
menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara
untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan
Rochmin Dahuri, 2004). Dalam melaksanakan pembangunan daerah tentunya
pemerintah daerah membutuhkan sumber pembiayaan untuk mebiayai pembangunan
daerah. Dalam hal melaksanakan pembangunan daerah terhdapat sumber-sumber yang
dapat digali untuk pelaksanaan pembangunan daerah yakni berasal dari
pengelolaan sumber daya ekonomi daerah dan penerimaan dari pungutan pemerintah.
Atas pengelolaan sumber daya ekonomi daerah untuk kepentingan rakyat yang
sebesar-besarnya telah sesuai dengan amanah konstitusi yakni Undang-Undang
Dasar 1945 amandemen Ke-IV Pasal 33 ayat (3) yakni Bumi dan air dan Kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan terhadap pungutan yang
dilakukan oleh Pemerintah telah sesuai dengan amanah konstitusi juga yakni
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23A yakni pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Sumber pendanaan pembangunan daerah dapat bersumber dari
pengelolaan sumber daya ekonomi daerah dan penerimaan pungutan yang diatur
dalam undang-undang. Kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan
pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara sebagai berikut;
-
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat (1)
“Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan
pemerintahan”
-
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat (2) huruf c
“Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
ayat (1) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan”
-
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (1)
“Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (2) huruf c:
a.
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja
pengelolaan keuangan daerah selaku
pejabat pengelola APBD
b.
dilaksanakan oleh kepala satuan kerja
perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.”
-
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (2)
“Dalam rangka Pengelolaan Keuangan Daerah,
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
Menyusun dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan APBD;
b.
Menyusun rancangan APBD dan rancangan
Perubahan APBD;
c.
Melaksanakan pemungutan pendapatan
daerah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
d.
Melaksanakan fungsi bendahara umum
daerah;
e.
Menyusun laporan keuangan yang
merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD”
-
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (3)
“Kepala satuan kerja perangkat daerah
selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut;
a.
Menyusun anggaran satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
b.
Menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran;
c.
Melaksanakan anggaran satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
d.
Melaksanakan pemungutan penerimaan
bukan pajak;
e.
Mengelola utang piutang daerah yang
menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f.
Mengelola barang milik/kekayaan
daerah yang menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
g.
Menyusun dan menyampaikan laporan
keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya”
Hak-hak pemerintah daerah dalam mengelola penerimaan daerah
dipertegas dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 pasal 21 huruf d, e, f, g, dan h
yakni
“Dalam menyelenggarakan
otonomi, daerah mempunyai hak;
d.
Mengelola kekayaan daerah;
e.
Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f.
Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g.
Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. Mendapatkan hak lainnya
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”
Sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan pemerintah daerah wajib untuk menyusun sistem
informasi pengelolaan keuangan daerah yang mendasari pada peraturan
perundang-undangan.
Didalam teknis pengelolaan
keuangan daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang telah berhasil menelurkan
paket regulasi sebagai berikut;
1. Peraturan
Daerah Tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
2. Peraturan
Daerah Tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
3. Peraturan
Bupati Tentang Pedoman Pelaksanaan APBD;
4. Peraturan
Bupati Standar Harga di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lumajang;
5. Peraturan
Bupati Pedoman Pelaksanaan APBD;
6. Peraturan
Bupati Sistem dan Prosedur Pertanggungjawaban APBD;
7. Peraturan
Bupati Kebijakan Akuntansi Pemerintah Kabupaten Lumajang;
8. Peraturan
Bupati Tentang Petunjuk Teknis Pajak Daerah;
9. Peraturan
Bupati Tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
10. Petunjuk
Teknis Hibah dan Bansos;
11. Dll.
Dalam
pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang dinamis, perkembangan paket
regulasi pengelolaan keuangan daerah terus berkembang. Kondisi ini disebabkan
proses pengelolaan keuangan daerah yang dinamis dalam pelaksanaannya.
b.
Penataan
Kelembagaan
Setiap
lingkungan tempat tinggal memiliki budaya yang dibuat oleh nenek moyang dan
diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk dianut dan
dilestarikan bersama. Perusahaan adalah sebuah lembaga yang terdiri dari banyak
karyawan yang merupakan individu yang berasal dari latar belakang yang berbeda,
yaitu lingkungan, agama, pendidikan, dan lain-lain. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa perusahaan terdiri dari individu dengan kultur bawaan yang
berbeda-beda.
Menurut
Moeljono (2003) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai
yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan
serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat
dan dijadikan acuan perilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan
yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang kuat memberikan para karyawan
suatu pemahaman yang jelas dari tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi,
mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya, karena tingginya
tingkat kebersamaan. Budaya organisasi juga bisa memberikan kesetiaan dan
komitmen bersama. Apabila karyawan diberikan pemahaman tentang budaya
organisasi, maka setiap karyawan akan termotivasi dan semangat kerja untuk
melakukan setiap tugas-tugas yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini salah satu
kunci untuk memperoleh prestasi kerja yang optimal, sehingga produktivitas
meningkat untuk mencapai tujuan organisasi dan kinerja karyawan.
Pelaksanaan otonomi
daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah
daerah untuk menyusun
organisasi
perangkat daerahnya. Dasar
utama penyusunan
perangkat
daerah dalam
bentuk suatu
organisasi
adalah
adanya urusan
pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah,
yang terdiri
dari urusan wajib dan
urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan
harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.
Pembentukan kelembagaan daerah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 32
tahun
2003 pasal 120
yang
mengungkapkan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah,
lembaga teknis
daerah, kecamatan
dan kelurahan. Dengan
membentuk kelembagaan,
maka pemerintah
daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan secara efisien untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat. Pembentukan kelembagaan pemerintah
daerah dilakukan berdasarkan
Peraturan
Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah.
Dalam kebijakan
tersebut tergambar bahwa perangkat daerah terbagi
atas lima unsur yaitu
:
1. Unsur staf yang
membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi,
diwadahi
dalam Sekretariat.
2. Unsur pengawas
yang
diwadahi
dalam bentuk inspektorat.
3. Unsur perencana
yang diwadahi dalam bentuk badan.
4. Unsur pendukung tugas
kepala daerah dalam penyusunan dan
pelaksanaan
kebijakan
edaerah yang bersifat spesifik,
diwadahi
dalam lembaga teknis daerah.
5. Unsur pelaksana
urusan daerah
yang
diwadahi
dalam dinas daerah.
Dinamika tuntutan masyarakat akan
kualitas pelayanan
menuntut pemerintah
daerah untuk melakukan pemerintahan daerah
kelembagaan sehingga
bentuk kelembagaan daerah yang dibuat akan lebih efisien. Karakter
ini
ditunjukkan dengan
struktur kelembagaan yang ramping. Kelembagaan yang besar, akan
memungkinkan
terjadinya overlap
implementasi tugas pokok dan fungsi antar
organisasi yang ada. Banyaknya
keragaman
organisasi
kelembagaan yang dibangun oleh pemerintah
daerah menciptakan potensi
terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas. Kondisi ini selain menciptakan sulitnya koordinasi
pada tatanan implementasi
kebijakan publik
juga
berakibat pada
pemborosan penggunaan sumber
daya. Banyaknya
keragaman
organisasi yang dibangun juga
menciptakan semakin banyak kemungkinan terciptanya garis konflik diantara
organisasi kelembagaan itu sendiri.
Organisasi pemerintah yang ramping
akan menghasilkan
kualitas pelayanan masyarakat yang lebih berkualitas serta memudahkan bagi penerima layanan.
Kondisi ini menjadikan kelembagaan yang
tidak berbelit-belit serta prosedur pelayanan
yang mudah
dipahami
oleh masyarakat serta
memberikan kejelasan dan kepastian
hukum bagi masyarakat. Pada
sebuah organisasi
pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan
tugas dan penyelenggaraan
pemerintahan,
dipengaruhi oleh kepemimpinan, melalui kepemimpinan dan didukung oleh
kapasitas organisasi
pemerintahan yang memadai,
maka penyelenggaraan
tata
pemerintahan
yang
baik (Good Governance) akan
terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan
salah satu sebab keruntuhan
kinerja
kelembagaan di
Indonesia.(Istianto, 2009: 2).
Didalam
perjalanan pengelolaan keuangan daerah
Pemerintah Kabupaten Lumajang telah melaksanakan perubahan struktur organisasi pada
Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah yakni pada Tahun 2008 dan Tahun 2014. Kondisi
ini berkaitan dengan kebutuhan akan pelayanan pada pengelolaan keuangan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang. Sebagaimana diketahui untuk memenuhi
reformasi pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah selanjutnya Peemerintah Daerah membentuk Dinas Pengelola Keuangan Daerah
sebagai lembaga yang menjalankan fungsi manajerial pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya,
pada tahun 2009 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-Undang ini memperluas peran
pemerintah daerah dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah. Dimana dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini terdapat pengalihan Pajak
Bumi dan Bangunan yang selama ini pengelolaan menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat, kewenangannya beralih menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Kondisi ini
menuntut pemerintah daerah segera menyesuaikan diri guna meningkatkan pelayanan
di bidang perpajakan.
Selanjutnya
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang membentuk melakukan perombakan pada
Pengelolaan Keuangan Daerah yakni dengan melakukan perubahan terhadap struktur
organsiasi pengelolaan keuangan daerah. Dimana memperluas kewenangan Dinas
Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dalam hal pemungutan pajak daerah.
c.
Penataan
sistem pengelolaan keuangan daerah
Pada era globalisasi seperti saat ini dalam menjalankan
organisasi pemerintahan tantangan terbesarnya yaitu
bagaimana melaksanakan keberhasilan
pembangunan dengan tetap
menerapkan komitmen yang
tinggi berupa penerapan nilai luhur
peradaban bangsa dan prinsip good governance
dalam mewujudkan
cita- cita bangsa dan
negara sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. (Rohman, 2010).
Pengendalian intern
menurut
Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan
Daerah merupakan proses yang
dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan
pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan
efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta
dipatuhinya peraturan perundang-undangan. Ada tiga fungsi yang terlihat dari
definisi tersebut yaitu: (a)
keterandalan
pelaporan keuangan, (b) efisiensi
dan
efektivitas operasi, dan (c) kepatuhan
terhadap ketentuan dan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pengendalian
intern yang memadai akan
menghasilkan Informasi yang
bermanfaat bagi
para
pemakai
adalah informasi yang mempunyai
nilai.
Desi dan Ertambang
(2008) beranggapan bahwa
Dari karakteristik laporan keuangan, ketepatwaktuan dan keterandalan merupakan dua
unsur nilai informasi yang paling terkait dalam
pengambilan keputusan
manajemen. Ketepatwaktuan Laporan
keuangan harus
diimbangi dengan
keterandalan yang meyakini informasi laporan keuangan tersebut benar
dan
valid. Untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, maka kapasitas sumber daya manusia yang melaksanakan sistem
akuntansi sangatlah
penting. Faktor kedua yang mempengaruhi keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan
keuangan pemerintah adalah
pemanfaatan teknologi informasi. Jadi kesimpulannya, nilai
suatu
laporan keuangan dilihat dari
keterandalan
penyajian pertanggungjawaban laporan keuangan tersebut
dan ketepatwaktuan dalam memberikan
informasi dalam melaporan keuangan setiap instansi yang berkepentingan
(stakeholder) dalam pengambilan keputusan.
Tujuan
sistem pengelolaan keuangan adalah
memahami
garis
besar lingkup
pengelolaan keuangan unit-unit
kerja, memahami siklus keuangan, memahami jenis-jenis laporan keuangan dan memahami
proses pertanggungjawaban keuangan. Dasar
hukum pertanggung- jawaban UU No.
17/2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU
No.
15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU; PP No. 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; PP
No. 58/2005 tentang Keuangan Daerah; PP No.
8/2006
tentang
Pelaporan
Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Penerapan Sistem Informasi
Pengelolaan Keuangan
Daerah (SIPKD) merupakan seperangkat aplikasi
terpadu
yang dipergunakan sebagai alat
bantu untuk meningkatkan efektifitas implementasi
berbagai regulasi bidang
pengelolaan
keuangan daerah yang
didasarkan pada asas efisiensi, ekonomis, efektif, transparan,
akuntabel dan auditabel. Rohman
(2010) menyatakan Usaha tersebut dapat diciptakan dari peran sumber daya manusia (aparatur pemerintah) yang efektif, efisien, bersih, dan profesional serta produktif.
Mengingat kenyataan
tersebut, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu kebutuhan masa depan.
Sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, pemerintah daerah diwajibkan
mennerapkan standar akuntansi berbasis akrual dalam pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan daerah. Kondisi ini berakibat kepada seluruh transaksi ekonomi
harus dicatat pada saat transaksi tersebut terjadi. Pada Tahun Anggaran 2014,
Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Lumajang masih belum menggunakan sistem informasi secara intergasi dan on line. Untuk peningkatan dan percepatan pelayanan kepada
public pada Tahun 2015 Pemerintah Daerah
Kabupaten Lumajang melaksanakan intergasi terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Penyusunan Anggaran, realisasi dana APBD, pencatatan Pendapatan, Penetapan
Ketetapan Pajak dan Retribusi dilaksanakan secara intergasi menggunakan Sistem
Informasi Keuangan Daerah.
Memperhatikan asas legalitas
peraturan perundang-undangan pemerintah daerah tidak dapat lagi menolak untuk
menyelenggaraan sistem informasi dan memberikan akses informasi kepada public.
Pada sisi yang lain pemerintah daerah dihadapkan keterbatasan sumber daya
manusia dan sumber daya pendanaan pengelolaan sistem informasi pengelolaan
keuangan daerah. Keterbatasan inilah yang diharapkan untuk dapat diselesaikan
dengan baik, sehingga pada kesimpulan pemerintah daerah telah dapat
menyelenggarakan sistem informasi pengelolaan keuangan pemerintah daerah sesuai
dengan amanat undang-undang dan dapat memberikan akses output informasi kepada
publik.
Pemerintah Kabupaten Lumajang
telah menggunakan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah dalam
penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah. Sistem Informasi Pengelolaan
Keuangan Daerah dengan terbagi dalam beberapa subsistem yang masing-masing
menggunakan basis data yang berbeda-beda. Untuk pengelolaan keuangan daerah
mulai proses penganggaran, penggunaan anggaran, dan pelaporannya menggunakan
sistem informasi dengan baisi data Microsoft
Visual Foxpro, untuk pengelolaan barang milik daerah menggunakan sistem
informasi barang daerah (SIMBADA) dengan basis data SQL, dan untuk pengelolaan
Pajak Bumi dan Bangunan menggunkan basis data Oracle.
Dengan penggunaan berbagai
macam bentuk basis data berdampak pada permasalahan integrasi output dari masing-masing proses aktivitas.
Masing-masing aktivitas dengan kekhususan sistem informasi tersendiri membuat
masing-masing aktivitas terputus akses dari aktivitas yang lain. Dan pada
akhirnya informasi yang diharapkan tidak dapat disatukan satu dengan lainnya
karena benturan penggunaan basis data masing-masing sistem informasi. Untuk
itu, penyatuan sistem informasi tidak dapat lagi untuk ditunda, karena merupakan
kebutuhan pemerintah daerah.
Lebih focus pada Pelaksanaan
Pengelolaan Keuangan Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
bahwa sistem informasi keuangan daerah (SIKD) merupakan sistem informasi yang
dikembangkan oleh Pemerintah Daerah tersendiri dengan Developer dari luar
Kabupaten Lumajang. Sejalan dengan kebutuhan akan menggunaan Sistem Informasi
masih terdapat banyak hal yang perlu dipenuhi terhadap pengelolaan keuangan
daerah. Terlebih dengan diundangkannya PP 71 Tahun 2010 Tentang Standar
Akuntansi Pemerintah Junto Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Penerapan Standar Akuntansi
Pemerintah Berbasis Akrual tentunya sistem informasi keuangan daerah milik
Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang perlu untuk dikembangkan lebih sempurna
lagi.
Standar akuntansi berbasis
akrual adalah standar akuntansi dimana setiap transaksi ekonomi baik penerimaan
dan pengeluaran, penambahan penambahan dan pengurangan aset, penambahan dan
pengurangan utang dan ekuitas dicatat pada saat transaksi terjadi. Sedangkan
standar akuntansi berbasis kas merupakan standar dimana pencatatan dilakukan
pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Sebagaimana dimaksud Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 dijelaskan bahwa pemerintah daerah diwajibkan
untuk menggunakan standar akuntansi berbasis akrual maksimal 31 Desember 2014.
Penerapan Standar Akuntansi
Pemerintah Daerah berbasis akrual menimbulkan permasalahan tersendiri terhadap
praktik pengelolaan keuangan daerah khususnya pengelolaan sistem informasi pola
pertanggungjawaban pemerintah daerah. Satu sisi kebutuhan pengembangan dengan
standar akuntansi pemerintah kas menuju akrual masih terus dikembangkan, satu
sisi lain penerapan standar akuntansi berbasis akrual per 31 Desember 2014
tidak dapat ditunda lagi. Oleh karena itu perlu sekiranya memetakan kebutuhan
perbaikan sistem informasi dengan berdasar kepada peraturan perundang-undangan.
Sistem Informasi yang
digunakan Pemerintah Berbasis WEB BASE,
yang tercatat secara real time hal ini berakibat sebagai
berikut;
1. Pencatatan
transaksi ekonomi baik PENDAPATAN, BELANJA, PEMBIAYAAN, PENETAPAN PAJAK,
PENETAPAN RETRIBUSI dilaksanakan
secara langsung pada sistem informasi. Kondisi ini berakibat pada setiap
transaksi ekonomi akan tercatat dan terpantau oleh oleh Dinas Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah. Akses informasi di masing-masing Satuan Kerja
terpantau.
2. Setiap melaksanakan transaksi pengadaan barang dan
jasa, Berita Acara Serah Terima (BAST) Barang tercatat secara langsung dan di
pantau oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Aktivitas dan kesalahan
dalam penerbitan berita Acara akan terus terpantau, apabila terdapat perubahan
dan pergantian berita acara akan tercatat dalam sistem informasi, sehingga mudah untuk mendeteksi dugaan
froud (Kecurangan) dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
3. Seluruh
Laporan baik Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Neraca, Laporan Operasional,
Laporan Penyerapan Anggaran, Penggunaan Uang Persediaan, langsung tercatat
dalam sistem informasi berbasis Web. Aktivitas ini memudahkan satuan kerja
dalam hal penyunan laporan. Dengan satu kali aktivitas (KLIK) seluruh laporan
dapat segera tersusun.
4. Terhadap
perubahan sistem informasi dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD)
berbasis Tablet menjadi Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD)
perlu diperhatikan
bahwa terhadap perubahan mendasar terhadap sistem informasi pengelolaan
keuangan daerah. Untuk itu dimohon
perhatian terhadap upaya DInas Pengelola Keuangan Dan Aset Daerah dalam alih
teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia di masing-masing SKPD.
5. Perlu diketahui bahwa Pemeritah Daerah telah
melaksanakan MOU dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kantor Perwakilan
Provinsi Jawa Timur perihal pelaksanaan pertanggungjawaban APBD. Bahwa setiap
periode tertentu, seluruh transaksi ekonomi pemerintah daerah dilaporkan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan. Mohon diperhatikan setiap pengelolaan keuangan di
masing-masing SKPD karena pada saat ini telah terpantau oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
6. Perlu diketahui bahwa Pemeritah Daerah telah melaksanakan
MOU dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Timur
Perihal akses terhadap Rekening Koran Pemerintah Daerah. Terhadap Pengeluaran
dan Penerimaan Daerah langsung di pantau oleh Badan Pemeriksa Keuangan Kantor
Perwakilan Jawa Timur.
Terhadap penataan sistem pengelolaan keuangan
daerah ini Pemerintah Daerah melakukan perubahan terhadap sistem informasi yang
ada dengan mengakomodir kebutuhan pengelolaan keuangan daerah. Menindaklanjuti
akan kebutuhan sistem informasi yang memadai pada tahun 2015 Pemerintah Daerah
menerapkan Pengelolaan Keuangan Daerah berbasis Web Base, dimana pengelolaan
keuangan daerah dapat diakses dari tempat manapun dan waktu kapanpun. Sistem
Pengelolaan Keuangan ini dikembangkan oleh Pihak ketiga. Sistem Pengelolaan
Keuangan ini mengintegrasikan pengelolaan perencanaan anggaran daerah,
penatausahaan pengelolaan keuangan daerah, dan pertanggungjawaban pengelolaan
keuangan daerah. Selanjutnya, diharapkan
dengan perubahan pengelolaan keuangan daerah secara on line ini dapat
meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerah dan Opini WTP yang diperoleh
pada tahun-tahun sebelumnya dapat dipertahankan dikemudian hari.
d.
Pengembangan
sumber daya manusia di bidang keuangan
Sumber daya manusia atau
biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam
diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk
sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri
serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan
kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian
praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem
yang membentuk suatu organisasi. Sumber daya manusia yang kompeten dan yang
berkualitas sangat dibutuhkan untuk mendukung produktivitas dan aktivitas agar
tujuan perusahaan atau suatu organisasi dapat tercapai dengan sempurna. SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam
reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan
memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.
Dalam
sebuah organisasi, sumber daya manusia (tenaga kerja) adalah komponen yang
sangat penting, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada
kualitas orang-orang yang berada didalamnya. Kita sama-sama tahu bahwa
perubahan teknologi dan lingkungan yang bergerak demikian cepat dalam seluruh
sendi kehidupan membuat persaingan pun menjadi demikian tajam. Oleh karenanya
organisasi harus memiliki tenaga kerja yang berkompeten sehingga mampu merespon
dengan cepat setiap perubahan yang ada, menganalisis dampaknya terhadap
organisasi, serta menyiapkan langkah jitu untuk menghadapi berbagai
kondisi.
Pelatihan
(training) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan
keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja tenga
kera.(Simamora:2006:273). Menurut pasal I ayat 9 undang-undang No.13 Tahun
2003. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh,
meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin,
sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai
dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan. Pengembangan (development) diartikan sebagai penyiapan individu untuk
memikul tanggung jawab yang berbeda atau yang Iebih tinggi dalam perusahaan,
organisasi, lembaga atau instansi pendidikan. Menurut (Hani Handoko:2001:104)
pengertian latihan dan pengembangan adalah berbeda. Latihan (training)
dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagal ketrampilan dan teknik
pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin. Yaitu latihan rnenyiapkan
para karyawan (tenaga kerja) untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sekarang.
Sedangkan pengembangan (Developrnent) mempunyai ruang lingkup Iebih luas dalam
upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap dlan
sifat-sifat kepribadian.
(Gomes:2003:197)
Mengemukakan pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi
pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya.
Menurutnya istilah pelatihan sering disamakan dengan istilah pengembangan,
perbedaannya kalau pelatihan langsung terkait dengan performansi kerja pada
pekerjaan yang sekarang, sedangkan pengembangan tidaklah harus, pengembangan
mempunyai skcope yang lebih luas dandingkan dengan pelatihan. Pelatihan Iebih terarah pada peningkatan kemampuan dan keahlian SDM
organisasi yang berkaitan dengan jabtan atau fungsi yang menjadi tanggung jawab
individu yang bersangkutan saat ini ( current job oriented). Sasaran yang
ingin dicapai dan suatu program pelatihan adalah peningkatan kinerja individu
dalam jabatan atau fungsi saat ini.
Untuk
memenuhi kebutuhan dasar pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Daerah selalu
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki khususnya terkait dengan
pengelolaan keuangan daerah. Terhadap upaya peningkatan sumberdaya manusia
dalam kaitannya kompetensi pengelolaan keuangan daerah telah dilakukan hal-hal
sebagai berikut;
a.
Melakukan
bimbingan teknis pelaksanaan anggaran pemerintah daerah;
b.
Melaksanakan
bimbingan teknis pelaksanaan penatausahaan pengelolaan keuangan daerah;
c.
Melaksanakan
bimbingan teknis pelaksanaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah;
d.
Melaksanakan
pembinaan peningkatan kapasitas petugas pajak daerah;
e.
Melaksanakan
pelatihan pelayanan kepada publik;
2.
Korelasi
Pengelolaan Keuangan Daerah yang Profesional, Transparan, dan Akuntabel dengan
Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah
Visi pemerintah
Kabupaten Lumajang adalah Terwujudnya
Masyarakat Lumajang Yang Sejahtera, Dan Bermartabat. Untuk mencapai visi
dimaksud pemerintah memiliki misi sebagai berikut;
1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan perekonomian daerah dengan pemanfaatan sumber daya alam yang
berwawasan lingkungan, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelaku ekonomi.
2. Meningkatkan masyarakat yang bermartabat
melalui peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan peningkatan
sumber daya manusia dan profesionalisme aparatur.
3. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat
melalui peningkatan kehidupan beragama, kualitas pendidikan, penanganan sosial
dan pengentasan kemiskinan.
Untuk
mencapai visi Terwujudnya Masyarakat Lumajang Yang Sejahtera dan Bermartabat
pemerintah memiliki misi meningkatkan masyarakat yang bermartabat melalui
peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan peningkatan sumberdaya
manusia dan profesionalisme aparatur.
Profesionalisme
adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para
anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas
profesionalnya. Transparansi adalah keterbukaan atas semua
tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparan di bidang
manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga
pendidikan, bidang manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan
sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya
harus jelas sehingga bias memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk
mengetahiunya (Surya Darma,2007).
Osborne (1992) dalam
Mardiasmo (2002)
menyatakan bahwa
Akuntabilitas ditujukan untuk mencari
jawaban terhadap
pertanyaan yang berhubungan
dengan pelayanan
apa, siapa,
kepada
siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain,
apa yang
harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai
bagian kegiatan dalam masyarakat, apakah
pertanggungjawaban
berjalan seiring dengan kewenangan yang memadai,
dan lain sebagainya.
Konsep pelayanan ini
dalam
akuntabilitas belum
memadai,
maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang
melaksanakan akuntabilitas.
Menurut
Mardismo (2004), akuntabilitas publik
keuangan daerah
adalah pemberian informasi
dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja
keuangan daereah kepada semua
pihak yang berkepentingan (stakeholder)
sehingga
hak-hak
publik,
yaitu hak untuk tau (right
to know),
hak untuk diberi informasi (right to be
kept
information), dan
hak untuk
didengar aspirasinya (right to be heard and to
be listened to)
dapat terpenuhi.
Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa
akuntabilitas publik meliputi
akuntabilitas internal dan akuntabilitas
eksternal. Akuntabilitas
internal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak internal yang
berkepentingan seperti pegawai,
pejabat pengelola keuangan negara, dan badan
legislatif.
Dengan menerapkan nilai profesionalisme, transparansi dan
akuntabilias diharapkan terdapat peningkatan terhadap pelayanan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1. Untuk
membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel
terdapat pendekatan sebagai berikut;
a. Penataan
Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum;
b. Penataan
Kelembagaan
c. Penataan
sistem pengelolaan keuangan daerah
d. Pengembangan
sumber daya manusia di bidang keuangan
2. Dengan
membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel
diharapkan mampu memberikan dorongan tercapainya visi dan misi pemerintah
daerah.
0 komentar:
Posting Komentar