9.24.2013

Norma Hukum dan Keputusan Hukum



Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Secara etimologi norma berasal dari bahasa latin, kaidah berasal dari bahasa arab. Norma berasala dari bahasa nomos biasa diterjemahkan ke dalamn bahasa inggris dengan istilah The Law. Sedangkan kaidah berasal dari bahasa arab yang berarti qoidah artinya ukuran atau nilai pengukur[1]. Dalam Teori dunbi barat Norma-norma tersebut biasanya digambarkan terdiri dari tiga macam saja yaknin obligattere, prohibere, dan permittere[2]. Sistem hukum islam mengenal ilmu fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Hazairin, norma terdiri atas lima macam yakni:
(a)    Halal atau mubah (Permittere);
(b)   Sunnah;
(c)    Makruh;
(d)   Wajib (obligattere); dan
(e)    Haram (Prohibere);[3]
Dengan demikian kita mengenal bahwa terdapat tiga tatanan norma yakni Norma Agama, Norma Kesusilaan, dan Norma Hukum[4] yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan satu dengan lainnya. Kaidah kesusilaan yang dipahami dalam arti sempit (sttlichkeit) hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbukl dalam kehidupan pribadi (internal life)[5].karena itu, kaidah semacam itu disebut juga kesusilaan pribadi, misalnya dikatakan bahwa seseorang tidak boleh curiga, tidak boleh membenci, tidak boleh lekas marah, tidak boleh dengki atau iri hati, dan sebagainya. Disamping itu kaidah kesusilaan dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama (kolektif) atau semacam keadaan a pleasant living together (hidup yang menyenangkan bersama-sama). Selanjutnya kaidah dimaksudkan sebagai kaidah kesusilaan antar pribadi yakni kaidah sopan santun dan adat istiadat.
Jika ketiga macam kaidah tersebut diatas dibandingkan satu sama lainnya, dapat dikatakan bahwa kaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup pribadi, kaidah kesusilaan  pribadi bertujuann untuk terbentuknya kebaikan akhlak pribdaim dab kaidah kesusilaan antar pribdai atau kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antar pribadi[6].Ketiga kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang bersifat vaulenteer yaitu yang berasal dari kesadaran pribadi dari dalam diri sendiri dalam setiap pendukung kaidah itu sendiri. Artinya, daya lakunya tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh daridalam diri manusia sendiri (imposed from within). Berlainan dengan itu, daya laku kaidah hukum (legal form) justru dipaksakan dari luar diri manusia (imposed from without)[7].
Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian hidup antar pribadi (het recht wil vrede). Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dnegan perumusan tuga kaidah hukum yaitu mewujudkan kepastian, keadilan dan keberdunaan[8]. Artinya setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai kepastian (certainty), keadailan (equity), dan kebergunaan (utility).
Kaidah-kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat imperatif dan bersifat fakultatif [9]. Kaidah hukum yang bersifat imperatif biasa disebut dengan hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum menambah (aanvullendrecht).
Kaidah hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms)  dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms)[10]. Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subyek yang terkait tanpa menunjuk atau mengkaitkannya dengan subyek konkret, pihak, atau individu tertentu. Kaidah yang bersifat umum dan abstract inilah yang biasanya menjadi materi hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan terkait. Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subyek hukum tertentu, atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu[11].
Terhadap berbagai bentuk norma hukum tersebut dapat dilakukan kontrol atau pengawasan melalui apa yang disebut dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanishm). Kontrol terhadap norma hukum dapat dilakukan melalu pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian administratif, atau melalui kontrol hukum (yudisial)[12]. Kontrol politik dilakukan oleh lembaga politik  yakni dewan perwakilan rakyat atau parlemen. Contoh kontrol politik adalah perubahan undang-undang yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya kontrol dilakukan oleh fungsi administratif  yang menjalankan fungsi (bestuur) di bidang eksekutif. Bada-badan yang berwenang secara langsung diberikan delegasi kewenangan dalam undang-undang untuk melaksanakan undang-undang yang bersangkutan dapat mengambil prakarsa untuk mengevaluasi dan apabila diperlukan mempraklarsai usaha untuk mengadakan perbaikan  atau perubahan atas undang-undang yang bersangkutan.

B.     Hukum Sebagai Produk Keputusan
Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak-hak dan kewajibann hukum berupa larangan (prohibere), keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Terdapat bentuk-bentuk pengambilan keputusan dalam hukum pemerintah dibedakan sebagaio berikut:
1)      Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil kegiatan pengaturan ini sudah deharusnya tidak disebut sebagai istilah lain kecuali peraturan;
2)      Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings). Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administrasi sebaiknya hanya dimungkinkan untuk disebut dengan keputusan atau ketetapan, bukan dengan istilah lain misalnya penetapan.
3)      Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonnis).
Kewenagan untuk mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan [prinsip kedaulatan negara merupakan kewenangan ekslusif para wakilm rakyat yang berdaulat untuk menetukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi kebebasan individu warga negara (presumption of liberty of the souvereign people). Namun demikian cabang-cabang kekuasaan lainnya dapat memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan peraturan yang juga mengikat untuk umum, apabila wakil rakyat sendiri memberikan persetujuan dalam undang-undang. Sudah menjadi kebiasan umum didunia bahwa undang-undang yang dibuat oleh suatu parlemen hanya mengatur tentang garis besar ketentuan yang diperlukan, sedangkan rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh pihak eksekutif sendiri yang mengetahui rincian persoalan yang diatur[13].

1.      Pengklasifikasian Peraturan Perundang-undangan
Enactment dapat diterjemahkan sebagai ketentuan undang-undang, sedangkan statute adalah undang-undang. Statute dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu general, local, personal, public, dan private. General statute berlaku bagi segenap warga (the whole community) atau dalam bahasa belanda biasa disebut algemene verbindende voorschiften. Local statute (local wet) hany berlaku terbatas untuk atau didaerah tertentu saja. Personal Statute berlaku untuk individu tertentyu meskipun di zaman modern ini sudah sangat jarang. Public statute merupakan hukum yang yang timbul dalam lalu lintas publik. Sebaliknya Private statute merupakan hubungan hukum yang berada dalam lalu lintas privat. Terkait dengan hal tersebut penting untuk memperhatikan 4 kategori atas kaitannya dengan klasifikasi hukum yang masuk kategori general statute, personal statute, dan local statute sebagai berikut:
(i)        Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu peraturan berlaku umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal, atau peristiwa atau kasus konkret yang sudah ada sebelum peraturan tersebut ditetapkan
(ii)      Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diaturnya, yaitu harus berlaku pada subyek hukum tertentu
(iii)    Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah lokal tertentu;
(iv)    Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya yaitu hanya berlaku internal.[14]
Peraturan tertulis kelompok pertama yaitu peraturan yang bersifat umum atau yang biasa disebut dengan algemene verbindende voorschiften biasanya berisi norma hukum yang menurut Hans Kelsen bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms)[15]. Suatu norma hukum disebut bersifat abstrak apabila rumusan berisi nilai-nilai baik-buruk sehingga harus dilarang (prohibere), disuruh (obligatere), ataupun dibolehkan (permittere) yang tidak secara langsung dikaitkan dengan subyek-subyek, keadaan, atau peristiwa konkret tertentu. Karena itu daya ikatnya tidak terkait dengan subyek-subyek hukum tertentu saja, melainkan kepada siapa saja yang karena kesengajaannya memenuhi kualifikasi yang dimaksud[16].
Norma-norma hukum yang bersifat mengatur (regeling) dengan isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) itu di tuangkan kedalam bentuk tulisan tertentu yang disebut dengan peraturan. Disebut dengan peraturan (regels) karena produk hukum tersebut memang merupakan hasil atau “outcome” dari suatu rangkaian aktivitas pengaturan (regeling)[17]. Produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) dan karena itu disebut sebagai peraturan harus dibedakan dari [roduk hukum yang tidak bersifat mengatur. Melainkan hanya menetapkan atau penetapan (beschikking) yang karenanya tidak dapat disebut dengan peraturan. Jenis-jenis dan bentuk peraturan yang biasa disebut dengan peraturan beraneka ragam bentuknya. Keanekaragaman peraturan itu dapat dikatakan sangat tergantung pada tingkatan kepentingan, relevansi materi yang hendak diatur, dan lembaga atau organ jabatan kenegaraan dan pemerintahan yang diberi wewenang untuk menetapkannya menjadi peraturan yang mengikat untuk umum[18].  
Kategori berikutnya adalah peraturan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diatur. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat khusus ini biasa juga disebut dengan personal statute. Meskipun hal ini dapat dinilai sebagai sesuatu yang tidak lazim  di dunia modern ini, tetapi dalam kenyataan praktik disetiap negara selalu ada saja sifat norma hukum yang bersifat konkret dan individual seperti yang tercantum dalam satu atau dua undang-undang. Misalkan dalam hal ini adalah undang-undang khusus daerah istimewa jogjakarta dan aceh yang mengkhususkan daerah tersebut disamping daerah yang lain.  Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan tegas bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Artinya Undang-Undang Dasar 1945 sendiri mengakui adanya satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa itu, termasuk apabila satuan pemerintahan daerah yang dimaksud memiliki kekhususan dalam pengaturan mengenai kedudukan gubernurnya yang dikaitkan dengan keturunan keluarga tertentu seara konkret dengan penyebutan yang bersifat personal sebagai subyek hukum tatanegara yang bersifat khusus atau istimewa[19].
Selanjutnya pengklasifikasian berdasarkan undang-undang yang bersifat nasional dan bersifat lokal. Undang-undang yang bersifat lokal biasanya adalah undang-undang yang berlaku pada tingkat provinsi atau kabupaten saja. Yang dimaksud dengan undang-undang lokal atau ‘locale wet’ atau ‘Local legislation’ adalah peraturan yang dibentuk oleh lambaga legislatif lokal dengan kekuatan berlakunya hanya dalam lingkung wilayah satuan pemerintahan lokal tertentu saja[20]. Dengan demikian, ‘local wet’ yang dimaksud itu dapat setara dengan Peraturan Daerah.
Kalsifikasi terakhir adalah Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya yaitu hanya berlaku internal. Yaitu peraturan yang biasanya bersifat internal atau ’internal regulation’(interne regeling). Terhadap hal-hal yang bersifat umum dalam peraturan perundang-undangan terkadang terdapat pengecualian atau pengkhususan hal ini dikarenakan oleh tiga faktor yakni kekhusuan karena subyek hukum yang diaturnya, kekhususan karena lokalitas wilayah berlakunya, dan kekhususan karena sifat internal daya ikatnya secara hukum[21].
2.      Ketentuan ‘Direktory’ dan ‘Mandatory’ dalam Undang-undang
Setiap undang-undang (statute) dapat berisi ketentuan (provisions) yang bersifat mandatori (mandatory provisions) atau yang bersifat direktori (directory provisions). Jika suatu undang-undang disahkan untuk memungkinkan sesuatu dilaksanakan, maka norma yang terdapat didalam bersifat ‘mandatory’ atau ‘directory’. Bedanya adalah bahwa ketentuan yang bersifat mandatori harus ditaati atau dipenuhi secara tepat dan mutlak, tetapi ketentuan yang bersifat direktori dipandang sudah cukup jika ditaati atau dipenuhi secara subtentif saja. Jika ketentuan yang bersifat mandatori tidak dipenuhi secara tepat maka hal-hal yang dilakukan menjadi tidak sah, sebaliknya untuk ketentuan yang bersifat direktori bersifat immateriel sepanjang terkait dengan keabsahan sesuatu yang telah dilakukan, apakah ketentuan itu dipenuhi secara mutlak atau tidak[22] .

Tulisan ini merupakan Rangkuman dari Buku Perihal Undang-Undang karangan  Jimly Asshiddiqie Bab I.


[1] Jimly, Perihal Undang-undang;1
[2] Jimly, Perihal Undang-undang;2
[3] Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat, Cet. 3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1963)
[4] Jimly, Perihal Undang-undang;2
[5] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto; Perihal Kaidah Hukum, (Bandung:Alumni, 1982;26)
[6] Jimly, Perihal Undang-undang;3
[7] Jimly, Perihal Undang-undang;4
[8] Jimly, Perihal Undang-undang;4
[9] W.L.G. Lemaire, Het Recht In Indonesia, (Van Hoeve, 1955)
[10] Jimly, Perihal Undang-undang;5
[11] Jimly, Perihal Undang-undang;6
[12] Jimly, Perihal Undang-undang;6
[13] Jimly, Perihal Undang-undang;12
[14] Jimly, Perihal Undang-undang;18
[15] Hans Kelsen, General Theory of The Law and State, Translated by Anders Wedberg, (New York:Russel &Russel;1961)
[16] Jimly, Perihal Undang-undang;19
[17] Jimly, Perihal Undang-undang;19
[18] Jimly, Perihal Undang-undang;20
[19] Jimly, Perihal Undang-undang;22
[20] Jimly, Perihal Undang-undang;23
[21] Jimly, Perihal Undang-undang;26
[22] Jimly, Perihal Undang-undang;28

0 komentar: