Norma atau
kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk
tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah. Secara etimologi
norma berasal dari bahasa latin, kaidah berasal dari bahasa arab. Norma
berasala dari bahasa nomos biasa diterjemahkan ke dalamn bahasa inggris dengan
istilah The Law. Sedangkan kaidah
berasal dari bahasa arab yang berarti qoidah
artinya ukuran atau nilai pengukur[1].
Dalam Teori dunbi barat Norma-norma tersebut biasanya digambarkan terdiri dari
tiga macam saja yaknin obligattere,
prohibere, dan permittere[2]. Sistem hukum islam mengenal ilmu fiqih,
sebagaimana dijelaskan oleh Profesor Hazairin, norma terdiri atas lima macam
yakni:
(a) Halal atau mubah (Permittere);
(b) Sunnah;
(c) Makruh;
(d) Wajib (obligattere); dan
(e) Haram (Prohibere);[3]
Dengan demikian
kita mengenal bahwa terdapat tiga tatanan norma yakni Norma Agama, Norma
Kesusilaan, dan Norma Hukum[4]
yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan satu dengan lainnya. Kaidah
kesusilaan yang dipahami dalam arti sempit (sttlichkeit)
hanya dapat dimengerti sebagai kaidah yang timbukl dalam kehidupan pribadi (internal life)[5].karena
itu, kaidah semacam itu disebut juga kesusilaan pribadi, misalnya dikatakan
bahwa seseorang tidak boleh curiga, tidak boleh membenci, tidak boleh lekas
marah, tidak boleh dengki atau iri hati, dan sebagainya. Disamping itu kaidah
kesusilaan dimaksudkan untuk menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan bersama
(kolektif) atau semacam keadaan a
pleasant living together (hidup yang menyenangkan bersama-sama).
Selanjutnya kaidah dimaksudkan sebagai kaidah kesusilaan antar pribadi yakni
kaidah sopan santun dan adat istiadat.
Jika ketiga macam
kaidah tersebut diatas dibandingkan satu sama lainnya, dapat dikatakan bahwa
kaidah agama dalam arti vertikal dan sempit bertujuan untuk kesucian hidup
pribadi, kaidah kesusilaan pribadi
bertujuann untuk terbentuknya kebaikan akhlak pribdaim dab kaidah kesusilaan
antar pribdai atau kaidah kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup
bersama antar pribadi[6].Ketiga
kaidah tersebut mempunyai daya ikat yang bersifat vaulenteer yaitu yang berasal dari kesadaran pribadi dari dalam
diri sendiri dalam setiap pendukung kaidah itu sendiri. Artinya, daya lakunya
tidak dapat dipaksakan dari luar, melainkan tumbuh daridalam diri manusia
sendiri (imposed from within).
Berlainan dengan itu, daya laku kaidah hukum (legal form) justru dipaksakan
dari luar diri manusia (imposed from
without)[7].
Dari segi
tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian
hidup antar pribadi (het recht wil vrede).
Tujuan kedamaian hidup bersama tersebut biasanya dikaitkan pula dnegan
perumusan tuga kaidah hukum yaitu mewujudkan kepastian, keadilan dan
keberdunaan[8].
Artinya setiap norma hukum itu haruslah menghasilkan keseimbangan antara nilai
kepastian (certainty), keadailan (equity), dan kebergunaan (utility).
Kaidah-kaidah
hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat imperatif dan bersifat
fakultatif [9].
Kaidah hukum yang bersifat imperatif biasa disebut dengan hukum yang memaksa (dwingendrecht), sedangkan yang bersifat
fakultatif dibedakan antara norma hukum yang mengatur (regelendrecht) dan norma hukum menambah (aanvullendrecht).
Kaidah hukum dapat
pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract norms) dan yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms)[10].
Kaidah umum selalu bersifat abstrak karena ditujukan kepada semua subyek yang
terkait tanpa menunjuk atau mengkaitkannya dengan subyek konkret, pihak, atau
individu tertentu. Kaidah yang bersifat umum dan abstract inilah yang biasanya
menjadi materi hukum yang berlaku bagi setiap orang atau siapa saja yang
dikenai perumusan kaidah hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan
terkait. Sementara itu, kaidah hukum individuil selalu bersifat konkret. Kaidah
konkret ini ditujukan kepada orang tertentu, pihak, atau subyek hukum tertentu,
atau peristiwa dan keadaan-keadaan tertentu[11].
Terhadap berbagai
bentuk norma hukum tersebut dapat dilakukan kontrol atau pengawasan melalui apa
yang disebut dengan mekanisme kontrol norma hukum (legal norm control mechanishm). Kontrol terhadap norma hukum dapat
dilakukan melalu pengawasan atau pengendalian politik, pengendalian
administratif, atau melalui kontrol hukum (yudisial)[12].
Kontrol politik dilakukan oleh lembaga politik
yakni dewan perwakilan rakyat atau parlemen. Contoh kontrol politik
adalah perubahan undang-undang yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya kontrol dilakukan oleh fungsi administratif yang menjalankan fungsi (bestuur) di bidang eksekutif. Bada-badan yang berwenang secara
langsung diberikan delegasi kewenangan dalam undang-undang untuk melaksanakan
undang-undang yang bersangkutan dapat mengambil prakarsa untuk mengevaluasi dan
apabila diperlukan mempraklarsai usaha untuk mengadakan perbaikan atau perubahan atas undang-undang yang
bersangkutan.
B.
Hukum Sebagai Produk
Keputusan
Hukum pada
pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi
kekuasaan negara yang mengikat subyek hukum dengan hak-hak dan kewajibann hukum
berupa larangan (prohibere),
keharusan (obligatere), ataupun
kebolehan (permittere). Hukum negara
adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil
tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan. Terdapat bentuk-bentuk
pengambilan keputusan dalam hukum pemerintah dibedakan sebagaio berikut:
1) Pengaturan menghasilkan
peraturan (regels). Hasil kegiatan
pengaturan ini sudah deharusnya tidak disebut sebagai istilah lain kecuali
peraturan;
2) Penetapan menghasilkan
ketetapan atau keputusan (beschikkings).
Hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administrasi sebaiknya
hanya dimungkinkan untuk disebut dengan keputusan atau ketetapan, bukan dengan
istilah lain misalnya penetapan.
3) Penghakiman atau pengadilan
menghasilkan putusan (vonnis).
Kewenagan untuk
mengatur atau membuat aturan (regeling)
pada dasarnya merupakan domain kewenangan lembaga legislatif yang berdasarkan
[prinsip kedaulatan negara merupakan kewenangan ekslusif para wakilm rakyat
yang berdaulat untuk menetukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasi
kebebasan individu warga negara (presumption
of liberty of the souvereign people). Namun demikian cabang-cabang
kekuasaan lainnya dapat memiliki kewenangan untuk mengatur atau menetapkan
peraturan yang juga mengikat untuk umum, apabila wakil rakyat sendiri
memberikan persetujuan dalam undang-undang. Sudah menjadi kebiasan umum didunia
bahwa undang-undang yang dibuat oleh suatu parlemen hanya mengatur tentang
garis besar ketentuan yang diperlukan, sedangkan rincian operasionalnya diatur
lebih lanjut oleh pihak eksekutif sendiri yang mengetahui rincian persoalan
yang diatur[13].
1.
Pengklasifikasian Peraturan
Perundang-undangan
Enactment dapat
diterjemahkan sebagai ketentuan undang-undang, sedangkan statute adalah
undang-undang. Statute dapat
diklasifikasikan dalam lima kelompok yaitu general,
local, personal, public, dan private.
General statute berlaku bagi segenap warga (the whole community) atau dalam bahasa belanda biasa disebut algemene verbindende voorschiften. Local
statute (local wet) hany berlaku
terbatas untuk atau didaerah tertentu saja. Personal
Statute berlaku untuk individu tertentyu meskipun di zaman modern ini sudah
sangat jarang. Public statute merupakan
hukum yang yang timbul dalam lalu lintas publik. Sebaliknya Private statute merupakan hubungan hukum
yang berada dalam lalu lintas privat. Terkait dengan hal tersebut penting untuk
memperhatikan 4 kategori atas kaitannya dengan klasifikasi hukum yang masuk
kategori general statute, personal
statute, dan local statute
sebagai berikut:
(i)
Peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu peraturan berlaku
umum bagi siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal,
atau peristiwa atau kasus konkret yang sudah ada sebelum peraturan tersebut
ditetapkan
(ii)
Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek
yang diaturnya, yaitu harus berlaku pada subyek hukum tertentu
(iii) Peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus karena kekhususan wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku
di dalam wilayah lokal tertentu;
(iv) Peraturan perundang-undangan
yang bersifat khusus karena kekhususan daya ikat materinya yaitu hanya berlaku internal.[14]
Peraturan tertulis
kelompok pertama yaitu peraturan yang bersifat umum atau yang biasa disebut
dengan algemene verbindende voorschiften
biasanya berisi norma hukum yang menurut Hans Kelsen bersifat umum dan abstrak
(general and abstract norms)[15].
Suatu norma hukum disebut bersifat abstrak apabila rumusan berisi nilai-nilai
baik-buruk sehingga harus dilarang (prohibere),
disuruh (obligatere), ataupun
dibolehkan (permittere) yang tidak
secara langsung dikaitkan dengan subyek-subyek, keadaan, atau peristiwa konkret
tertentu. Karena itu daya ikatnya tidak terkait dengan subyek-subyek hukum
tertentu saja, melainkan kepada siapa saja yang karena kesengajaannya memenuhi
kualifikasi yang dimaksud[16].
Norma-norma hukum
yang bersifat mengatur (regeling) dengan
isi norma yang bersifat umum dan abstrak (general
and abstract) itu di tuangkan kedalam bentuk tulisan tertentu yang disebut
dengan peraturan. Disebut dengan peraturan (regels)
karena produk hukum tersebut memang merupakan hasil atau “outcome” dari suatu rangkaian aktivitas
pengaturan (regeling)[17].
Produk hukum yang bersifat mengatur (regeling)
dan karena itu disebut sebagai peraturan harus dibedakan dari [roduk hukum yang
tidak bersifat mengatur. Melainkan hanya menetapkan atau penetapan (beschikking) yang karenanya tidak dapat
disebut dengan peraturan. Jenis-jenis dan bentuk peraturan yang biasa disebut
dengan peraturan beraneka ragam bentuknya. Keanekaragaman peraturan itu dapat
dikatakan sangat tergantung pada tingkatan kepentingan, relevansi materi yang
hendak diatur, dan lembaga atau organ jabatan kenegaraan dan pemerintahan yang
diberi wewenang untuk menetapkannya menjadi peraturan yang mengikat untuk umum[18].
Kategori
berikutnya adalah peraturan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang
diatur. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat khusus ini biasa
juga disebut dengan personal statute.
Meskipun hal ini dapat dinilai sebagai sesuatu yang tidak lazim di dunia modern ini, tetapi dalam kenyataan
praktik disetiap negara selalu ada saja sifat norma hukum yang bersifat konkret
dan individual seperti yang tercantum dalam satu atau dua undang-undang.
Misalkan dalam hal ini adalah undang-undang khusus daerah istimewa jogjakarta
dan aceh yang mengkhususkan daerah tersebut disamping daerah yang lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18B ayat
(1) UUD 1945 dinyatakan tegas bahwa “Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Artinya Undang-Undang Dasar 1945
sendiri mengakui adanya satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau
istimewa itu, termasuk apabila satuan pemerintahan daerah yang dimaksud
memiliki kekhususan dalam pengaturan mengenai kedudukan gubernurnya yang
dikaitkan dengan keturunan keluarga tertentu seara konkret dengan penyebutan
yang bersifat personal sebagai subyek hukum tatanegara yang bersifat khusus
atau istimewa[19].
Selanjutnya
pengklasifikasian berdasarkan undang-undang yang bersifat nasional dan bersifat
lokal. Undang-undang yang bersifat lokal biasanya adalah undang-undang yang
berlaku pada tingkat provinsi atau kabupaten saja. Yang dimaksud dengan
undang-undang lokal atau ‘locale wet’
atau ‘Local legislation’ adalah
peraturan yang dibentuk oleh lambaga legislatif lokal dengan kekuatan
berlakunya hanya dalam lingkung wilayah satuan pemerintahan lokal tertentu saja[20].
Dengan demikian, ‘local wet’ yang
dimaksud itu dapat setara dengan Peraturan Daerah.
Kalsifikasi
terakhir adalah Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena
kekhususan daya ikat materinya yaitu hanya berlaku internal. Yaitu peraturan
yang biasanya bersifat internal atau ’internal
regulation’(interne regeling). Terhadap hal-hal yang bersifat umum dalam
peraturan perundang-undangan terkadang terdapat pengecualian atau pengkhususan
hal ini dikarenakan oleh tiga faktor yakni kekhusuan karena subyek hukum yang
diaturnya, kekhususan karena lokalitas wilayah berlakunya, dan kekhususan
karena sifat internal daya ikatnya secara hukum[21].
2.
Ketentuan ‘Direktory’ dan ‘Mandatory’ dalam Undang-undang
Setiap
undang-undang (statute) dapat berisi
ketentuan (provisions) yang bersifat
mandatori (mandatory provisions) atau
yang bersifat direktori (directory
provisions). Jika suatu undang-undang disahkan untuk memungkinkan sesuatu
dilaksanakan, maka norma yang terdapat didalam bersifat ‘mandatory’ atau ‘directory’. Bedanya
adalah bahwa ketentuan yang bersifat mandatori harus ditaati atau dipenuhi
secara tepat dan mutlak, tetapi ketentuan yang bersifat direktori dipandang
sudah cukup jika ditaati atau dipenuhi secara subtentif saja. Jika ketentuan
yang bersifat mandatori tidak dipenuhi secara tepat maka hal-hal yang dilakukan
menjadi tidak sah, sebaliknya untuk ketentuan yang bersifat direktori bersifat
immateriel sepanjang terkait dengan keabsahan sesuatu yang telah dilakukan,
apakah ketentuan itu dipenuhi secara mutlak atau tidak[22]
.
Tulisan ini merupakan Rangkuman dari Buku Perihal Undang-Undang karangan Jimly Asshiddiqie Bab I.
[15] Hans Kelsen, General Theory of The Law and State, Translated
by Anders Wedberg, (New York:Russel &Russel;1961)
0 komentar:
Posting Komentar