5.08.2012

Warisan Pep Guardiola


Oleh ANTON SANJOYO
Pep Guardiola memutuskan pergi dari Barcelona, tetapi kita penggemar sepak bola cantik tidak akan pernah kehilangan dia. Warisan terbaiknya bagi klub Barcelona, dan tentu saja bagi penikmat sepak bola seluruh dunia, bukanlah 13 gelar gemerlap, tarian tiki-taka, ataupun gol-gol ajaib Lionel Messi, melainkan spirit sepak bola yang menghibur dan semangat dedikasi total seorang yang sungguh mencintai sepak bola.
Faktanya, Guardiola adalah pelatih tersukses dalam 113 tahun sejarah klub berjuluk ”El Blaugrana” itu. Pencapaian Guardiola yang mengantarkan Barcelona meraih 2 gelar Liga Champions, 3 titel La Liga, 2 mahkota Clubs World Cups, 2 titel Supercup Eropa, 3 Piala Super Spanyol, dan 1 gelar Copa del Rey melampaui kisah keberhasilan pendahulu sekaligus mentornya, Johan Cruyff.
Sebelum era Guardiola, dunia mengenal Barcelona karena budaya Catalunya yang elok dan perseteruan politiknya dengan ”pusat” Kerajaan Spanyol yang diwakili oleh Madrid. Cruyff memang memberi variasi pada memori kita mengenai Barcelona lewat sepak bola agresif dan menekan, tetapi Guardiola mematrinya dengan sentuhan disiplin tinggi dan fokus pada penguasaan bola untuk memberi tekanan lebih besar kepada lawan.
Dalam empat tahun menangani Xavi Hernandez dan kawan-kawan, Guardiola memberikan pemahaman baru pada sepak bola menyerang yang mematikan, tanpa harus tampil garang atau keras. Filosofi bermain Guardiola lebih menekankan pada akurasi passing dan penguasaan bola (ball possession) untuk kemudian sebanyak mungkin mencetak peluang dan gol.
Saat mengambil alih kursi pelatih dari tangan Frank Rijkaard yang cenderung agresif dengan pola 4-3-3, Guardiola paham benar bahwa dua pemain tengahnya yang menjadi sentral serangan, Xavi dan Andres Iniesta, harus mendapatkan sokongan kuat dari barisan belakang. Baku umpan Xavi dan Iniesta hanya bisa efektif jika dua full back, pemain belakang yang beroperasi di sektor sayap, mampu mendorong lawan jauh ke wilayah permainan mereka sendiri.
Dengan fokus pada penguasaan bola dan akurasi umpan, gaya yang dikembangkan Guardiola kemudian justru terasa efektif dengan pemain-pemain yang bangun tubuhnya cenderung mungil untuk ukuran Eropa. Xavi, Iniesta, dan Messi, yang perannya digeser sebagai target man setelah cederanya David Villa, adalah tipikal pemain mungil yang bergerak bebas berkat tingginya tingkat akurasi umpan di antara mereka. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan tiki-taka, umpan-umpan pendek, cepat, dan tipis mengiris di antara kaki-kaki lawan.
Sistem bermain inilah yang mencetak 13 gelar plus catatan statistik yang menggiurkan, 175 menang, 21 seri, 46 kalah, dengan rekor gol 618-178 dalam empat tahun Guardiola yang terasa pendek di Nou Camp.
Sistem ini hanya bisa diimbangi oleh gaya permainan ultradefensif seperti yang dikembangkan Jose Mourinho saat menangani Internazionale Milan dan Roberto Di Matteo yang sementara memegang Chelsea. Dua tim inilah yang sanggup mengalahkan Barcelona di ajang Liga Champions meski tim Guardiola mencatat hampir 80 persen penguasaan bola karena dalam olahraga ini, kemenangan hanya dicatat lewat gol yang dicetak.
Meski gagal dalam dua kesempatan tersebut, kita tahu, nyaris tidak ada yang salah dalam cara bermain elok pasukan Guardiola, kecuali kombinasi sempurna antara kelelahan psikologis dan ketidakberuntungan, terutama saat jumpa ”The Blues”.
Warisan lain dari Guardiola adalah kepercayaannya yang amat tinggi terhadap pemain-pemain muda, bakat-bakat terbaik cetakan akademi La Masia. Ia memberi kesempatan yang hebat kepada Messi, Iniesta, Cecs Fabregas, Gerard Pique, Pedro Rodrigues, dan Sergio Busquet untuk mengambil peran sentral dalam perjalanan sejarah ”El Barca”. Belakangan, Guardiola juga mulai memberi ruang kepada Thiago Alcantara, Cristian Tello, dan Isaac Cuenca. Kepercayaan yang amat tinggi itu pun dibayar tunai dengan loyalitas tanpa syarat.
Bagi Guardiola yang memulai segalanya saat menjadi anak gawang dalam hangatnya keluarga besar Barcelona, sukses hanya bisa diraih dengan totalitas. Totalitas itu pula yang diberikan secara dua arah antara dirinya dan semua pemain. Maka, saat dia merasa empat tahun sudah sampai pada titik jenuh dan itu membuatnya tidak bisa total, dia memilih mundur.
”Setiap hari selama empat tahun, tuntutan begitu tinggi, juga tekanan dan energi yang diperlukan untuk menggerakkan tim. Saya perlu istirahat untuk mengisi ulang energi,” ujar Guardiola saat jumpa wartawan mengumumkan keputusannya mundur dari Barcelona.
Kapten Carles Puyol, kiper Victor Valdes, Xavi, Fabregas, Busquet, dan Pedro yang hadir pada acara itu tatapannya kosong. Messi, ikon yang memenangi dua predikat pemain terbaik di dunia di bawah asuhan Guardiola, tidak hadir dalam acara yang menyesakkan dada itu. Belakangan, bintang kelahiran Argentina itu menulis di akun Facebook-nya. ”Dengan alasan emosi yang saya rasakan, saya memilih tidak hadir dalam jumpa pers Pep. Saya juga memilih jauh dari media karena saya tahu, mereka akan menyorot wajah-wajah kami. Sesuatu yang tidak ingin saya perlihatkan kepada publik,” tulis Messi.
Pep Guardiola tidak akan menjadi Alex Ferguson versi Barcelona. Kita belum tahu hendak berlabuh ke mana setelah dia menyelesaikan cuti sabbatical-nya, cuti dari sepak bola untuk mengisi ulang baterai energinya. Yang kita tahu, Guardiola meninggalkan warisan keelokan yang akan dicatat oleh sejarawan sepak bola (Diambil dari kompas.com).

0 komentar: