6.06.2012

Mata Ganda Samurai Pengasih


Apabila diminta, manakah di antara kedua hal ini yang Anda pilih: kekayaan tanpa spiritualitas, atau kemiskinan dan kerendahan hati yang diperkaya dengan nilai ilahiah.
Hati yang resah dan pikiran yang kalut sangat mungkin terperangkap di antara dua pilihan itu. Padahal kita tak harus membuat pilihan, atau kita keluar dari perangkap itu dan membuat pilihan ketiga: memiliki keduanya—menjadi kaya material sekaligus spiritual, memiliki harta sekaligus murah hati.
Tapi, apakah itu mungkin?
Perihal dua jenis manusia, mengapa ada yang baik dan penuh perhatian tapi tak mampu mewujudkan apapun; mengapa ada pula yang dapat mewujudkan segala sesuatu, namun acapkali mereka itu egosentris, tamak, dan tak berperasaan? Samurai Pengasih adalah perpaduan segi-segi baik kedua jenis manusia tersebut, yang tegas, efektif, terhormat, dan baik budi.
Tapi, apakah itu mungkin?
Dalam bukunya yang terbit beberapa tahun yang lampau, The Compassionate Samurai, Brian Klemmer memperlihatkan bahwa jawaban atas kedua pertanyaan itu positif: sangat mungkin, yakni jikalau kita mengikuti jalan Samurai Pengasih. Siapakah samurai pengasih ini? Bukankah penamaan ini terkesan kontradiktif?
Samurai, anggota kasta ksatria Jepang, sangat ditakuti dan dihormati pada masanya, menganut nilai-nilai dengan amat ketat—nilai-nilai bushido yang mengutamakan keberanian, kehormatan, dan kesetiaan pribadi. Secara harfiah,bushido memiliki makna “jalan ksatria.” Lantaran itu, konsep “samurai pengasih” seolah mengandung pertentangan.
Namun, kata samurai juga mempunyai arti “melayani.” Klemmer, meminjam pengertian itu, menggunakan istilah samurai pengasih untuk merujuk pada seseorang yang memiliki nilai-nilai kuat, yang dapat mewujudkan apapun sekaligus mengabdikan seluruh hidupnya untuk melayani. Ada sepuluh nilai yang menjadi pedoman hidup samurai pengasih: komitmen, tanggung jawab pribadi, kontribusi, fokus, kejujuran, kehormatan, kepercayaan, kelimpahan, keberanian, dan pengetahuan.
Keseimbangan antara sikap ksatria dan rasa kasih merupakan perpaduan paling sempurna yang menyatukan nikmatnya kesuksesan lahiriah dengan rasa integritas dan kedamaian. Kuncinya adalah karakter. Kesenangan barangkali bisa membangun momentum, kata Klemmer, tetapi hanya karakterlah yang tetap abadi.
Ada perbedaan, yang nyaris tajam, antara kualitas seorang samurai pengasih dan kualitas orang kerumunan. Samurai pengasih memberi tanpa memikirkan pamrih pribadi; orang biasa memberi kalau ada untungnya bagi mereka. Klemmer senantiasa mengajukan tanya yang mengusik. Tapi ia juga menunjukkan konsekuensi positif dan negatif serta kekuatan dan kelemahan dari pilihan-pilihan karakter yang dianut seseorang.
Ketika seseorang memilih menjadi “korban,” ia akan terbebas dari keharusan mengambil tindakan, ia tidak perlu mengambil keputusan yang berat, dan orang-orang merasa kasihan dan bersimpati padanya. Sebagai bagian dari kerumunan, kata Klemmer, manusia senang menjadi korban karena “keuntungan-keuntungan” seperti itu.
Tentu saja, itu sejenis keuntungan yang negatif (lantaran itu memakai tanda kutip). Jalan samurai pengasih menebarkan keuntungan yang sejati. Tentang kejujuran, umpamanya. Kejujuran memang bagaikan pedang, bermata dua—dapat memotong, tapi dapat pula memperbaiki (dengan melukai dulu, untuk kemudian menyembuhkan). Keuntungan itu di antaranya: ketika saya jujur dengan apa yang sedang saya lakukan dalam diri saya, orang lain mulai menjadi jujur.
Dengan sepuluh karakter yang luar biasa itu, apakah samurai pengasih hanya dongeng Klemmer belaka? Ia menyebut Nelson Mandela sebagai contoh luar biasa samurai pengasih yang rela melewatkan 27 tahun hidupnya dalam penjara di Afrika Selatan untuk membebaskan bangsa dan negerinya dari cengkeraman rezim apartheid.
Bagaimana dengan kita, setidaknya saya, orang biasa yang ingin mengisi hidup dengan sesuatu yang luar biasa sekurang-kurangnya bagi orang-orang sekitar? Klemmer memandu kita cara mengasah karakter dengan menanamkan sepuluh nilai samurai pengasih tadi melalui latihan hari ke hari. Ini bagian yang tidak mudah, sebab ketika berlatih pun kita diminta berkomitmen pada latihan itu sendiri, bersikap jujur, selalu fokus, dan seterusnya.
Salah satu praktek konkret nilai “komitmen” yang dianut para samurai pengasih ialah selalu tepat waktu setiap saat: alangkah tidak mudahnya melakukan hal yang kedengarannya sederhana ini. Kita, setidaknya saya, sering terlambat, bahkan malah menganggap lumrah dan manusiawi bila terlambat lima menit untuk suatu acara. Dengan alasan macet atau ban mobil kempes, atau bahkan tanpa alasan sama sekali.
Klemmer mencontohkan pengalaman pahitnya, namun sangat bernilai, ketika ia nyaris mendapat proyek besar namun batal lantaran ia terlambat lima menit untuk menelpon calon kliennya itu. “Jika Anda tidak bisa menghargai waktu Anda sendiri, bagaimana saya bisa percaya menitipkan uang saya kepada Anda?” ujar orang di seberang sana. Dan klik, telepon diputus. ***http://blog.tempointeraktif.com/uncategorized/mata-ganda-samurai-pengasih/

0 komentar: