5.01.2012

Belajar dari Kepemimpinan Pep Guardiola


Setelah melewati masa keemasan sepanjang 4 tahun bersama Barcelona, dengan 13 gelar juara—yang berarti 3 gelar setiap tahun, secara pukul rata, Pep Guardiola memilih mengundurkan diri. Penampilan tim asuhannya memang tengah menurun: tak sanggup mempertahankan mahkota Liga Champions dan tertinggal oleh Real Madrid dalam kompetisi Liga Spanyol.
Bagi Pep, agaknya, ini merupakan isyarat bahwa sudah waktunya bagi dirinya untuk mengambil jeda yang panjang. Ini adalah sebuah pertanda keletihan. Puncaknya adalah ketika gaya bermain tiki taka yang diperagakan oleh Messi dan kawan-kawan membentur dinding tebal pertahanan Chelsea. Keputusan mundur sudah diambil dan Pep tidak akan memperbarui kontraknya dengan Barca.
Lebih dari gaya bermain bola maupun strategi di lapangan hijau, ada pelajaran menarik yang dapat dipetik dari kepemimpinan Pep. Pertama-tama, Pep sendiri yang menyadari bahwa sudah tiba waktu bagi dirinya untuk mengalihkan kepemimpinan sebagai manajer tim Barcelona kepada orang lain. Tak perlu ada guncangan dari luar untuk memaksa Pep mundur. Bahkan, Presiden Klub Barca Sandro Rosell tetap memuji kepemimpinannya maupun kerja keras Messi dkk.
Bagi siapapun yang menempati posisi penting dengan kewenangan besar untuk memilih pemain dan mengatur strategi pemainan, rasanya tidak mudah untuk mengambil sikap dan keputusan seperti Pep. Banyak orang yang menginginkan jabatan ini karena berbagai alasan. Seperti halnya banyak orang menginginkan posisi puncak di organisasi lain dan kemudian juga enggan mundur kendati kinerjanya terbukti buruk.
Dibutuhkan keberanian untuk mengevaluasi diri dan kemudian menyadari, “Oh, kini saatnya saya mundur.” Mundur, dalam konteks ini, bukanlah kekalahan, melainkan kesadaran bahwa suatu ketika seseorang mencapai titik keletihan yang sukar ditoleransi setelah menjalani kerja yang padat dan menegangkan. Bila tetap bertahan, situasinya berpotensi menjadi jauh lebih buruk. Ketimbang terus merosot, Pep memutuskan untuk menyerahkan tongkat manajer tim kepada asistennya, Tito Vilanova. Bahkan, sekitar Oktober tahun lalu ia telah mengatakan kepada Presiden Klub bahwa eranya sudah mendekati akhir.
Lagi-lagi, Pep menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin dengan mempersiapkan seseorang untuk menggantikan posisinya, suatu ketika. Sebagai manajer tim, ia tidak perlu merasa cemas ada orang di dekatnya yang tentu berminat untuk menapaki jenjang karier yang lebih tinggi dari posisi asisten manajer. Pep tidak memandang si asisten sebagai ancaman, bahkan Pep memujinya sebagai orang yang tepat untuk menangani kesebelasan karena sudah mengenal para pemainnya. “Pelatih baru akan memberikan hal-hal yang tidak bisa saya berikan,” kata Pep.
Pep tampaknya akan berlapang dada bila kelak gaya bermain tiki taka diganti dengan gaya bermain lain yang mungkin dikembangkan oleh penggantinya. Sebagai manajer tim sepakbola dan mantan pemain, Pep tampaknya bukan orang yang percaya pada sesuatu yang absolut, termasuk gaya bermain sepakbola. Kita tunggu saja, inovasi apa yang akan ditunjukkan Pep bila kelak ia mengakhiri masa istirahatnya dan melatih klub lain.
Sejauh ini, sejumlah pelajaran kepemimpinan telah ditunjukkan oleh Pep. Ia mundur dari gelanggang dengan terhormat (Tempo).

0 komentar: