11.20.2015

MEMBANGUN SISTEM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH YANG PROFESIONAL, TRANSPARAN DAN AKUNTABEL DALAM MENUNJANG TERCAPAINYA TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN

1.   LATAR BELAKANG
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Setiap daerah berhak mengatur pembangunan di daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Didalam pelaksanaannya terdapat pembagian-pembagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan didefinisikan fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi   hak   dan   kewajiban   setiap   tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya keinginan melimpahkan kewenangan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat.
Kebijakan desentralisasi yang luas, nyata, dan  bertanggung  jawab  kepada  daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia, seperti disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat,  dan  rendahnya  pembangunan sumber   daya   manusia.   Kedua,   desentralisasi dapat memperkuat basis perekonomian daerah (Ika Jayanti, Sjamsiar Sjamsuddin, Abdul Wachid: Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No.2). Lahirnya Otonomi Daerah memiliki makna yang strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena akan mampu mendorong demokratisasi, dalam arti memberi ruang gerak kepada masyarakat di daerah untuk mengembangkan partisipasi, prakarsa dan kreativitasnya dalam menata dan membangun daerah, dengan mengacu pada persatuan dan kesatuan bangsa (Joko Triwiyatno). Otonomi Daerah dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas manajemen mengenai pemerintahan, dalam pemberian kewenangan dan kemandirian pengambilan keputusan serta pengelolaan urusan pemerintahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembagian kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah membawa konsekwensi bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Didalam pelaksanaan kewenangan dimaksud pemerintah daerah membiayai aktifitasnya dengan sumber dana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya desentralisasi mengharuskan sistem pengelolaan keuangan daerah dikelola mandiri oleh pemerintah daerah. Hal ini tertuang  dalam Undang-undang No.  33  Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diberlakukannya Undang-undang tersebut telah melahirkan paradigma baru  dalam pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan  publik.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menjelaskan tentang definisi Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Keseluruhan aktivitas pengelolaan keuangan yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Indeks Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2015 Badan Pemeriksa Keuangan memuat ringkasan dari 666 objek pemeriksaan, terdiri atas: 117 objek pada pemerintah pusat; 518 objek pemerintah daerah dan BUMD; serta 31 objek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya, terdiri atas: 607 objek pemeriksaan keuangan, 5 pemeriksaan kinerja, dan 54 pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dari pemeriksaan atas 666 objek pemeriksaan tersebut, BPK menemukan sebanyak 10.154 temuan yang memuat 15.434 permasalahan, yang meliputi 7.890 (51,12%) masalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp 33.46 triliun dan 7.544 (48,88%) masalah kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Dari masalah ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 4.609 masalah berdampak pada pemulihan keuangan negara/daerah/perusahaan (atau berdampak finansial) senilai Rp 21.62 triliun. Selama semester I tahun 2015 BPK memeriksa 504 laporan keuangan pemda atau sebanyak 93,51% LKPD dari 539 pemerintah daerah yang wajib menyusun laporan keuangan (LK). Hal ini mengalami perkembangan dari tahun sebelumnya yang dimuat dalam IHPS I Tahun 2014 yaitu sebanyak 456 (87,02%) LHP LKPD dari 524 pemerintah daerah yang wajib menyusun LKPD Tahun 2013. LKPD tahun 2013 yang memperoleh opini WTP sebanyak 29,96%, dan tahun 2014 meningkat menjadi 49,80%.
Kondisi yang lain, Kementerian Dalam Negeri mencatat sepanjang Oktober 2004 hingga Juli 2012 ada ribuan pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Setiap lapisan pejabat daerah, mulai dari gubernur, wali kota, bupati, hingga anggota dewan perwakilan daerah terlibat korupsi. Sepanjang 2004 hingga 2012, Kementerian mencatat ada 277 gubernur, wali kota, atau bupati. Kementerian juga mencatat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat korupsi. Di tingkat provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus (Tempo.com).
Pelaksanaan otonomi daerah menutut pemerintah daerah lebih transparan dalam pelaksanaan keuangan daerah. Pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam menjalankan undang-undang harus di informasikan kepada publik baik pada saat perencanaan, pelaksanaan ataupun pertanggungjawaban. Oleh karena itu menjadi penting bagi pemerintah daerah untuk menyusun sistem pengelolaan daerah yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menghindari resiko hukum dikemudian hari. Memperhatikan latar belakang permasalahan dapat diambil judul Membangun Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah Yang  Profesional, Transparan Dan Akuntabel Dalam Menunjang Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah.


2.   RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah sebagai berikut:
a.    Bagaimanakah Cara Membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel?
b.    Bagaimanakah Korelasi Pengelolaan Keuangan Daerah yang Transparan, dan akuntabel dengan Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah?

3.   TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
a.    Mengetahui Cara Membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang  profesional, transparan dan akuntabel?
b.    Mengetahui Korelasi Pengelolaan Keuangan Daerah yang Transparan, dan akuntabel dengan Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah?





BAB II
ISI

2.1        Membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang profesional, transparan dan akuntabel
Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seorang yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional. Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri profesionalisme adalah sebagai berikut:
  1. Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi
  2. Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan
  3. Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya
  4. Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bias memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahiunya (Surya Darma,2007). Transparansi juga diartikan sebagai prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penye- lenggaraan  pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
Berikut beberapa tujuan dari penerapan prinsip transparansi menurut Widodo (2001, h.19):
a.    Memberikan kemudahan bagi pihak-pihak yang berkesempatan untuk mendapatkan informasi  sebagai  acuan  untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan.
b.   Membangun sikap positif stakeholder dan terhindarkan dari sikap apriori terhadap program-program pembangunan daerah yang dibiayai oleh DAK (Dana Alokasi Khusus) akibat keterbatasan informasi maupun  oleh  adanya  informasi-informasi yang keliru.
c.    Menciptakan ketersediaan informasi sehingga  terbuka  peluang  yang  mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan daerah.
Transparansi pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sejalan dengan semangat transparansi pengelolaan keuangan daerah pemerintah dituntut untuk menyiapkan segala bentuk infrastruktur dan Sumber Daya Manusia yang memadai untuk menjalankan scenario dimaksud. Dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan penuh dengan dinamika yang dibutukan kekhususan penanggannya. Pemberian informasi kepada public merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar. Pemerintah daerah diwajibkan memberikan informasi kepada public sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Berikut ini dapat disampaikan perihal peraturan pelaksanaan dalam rangka penyelenggaraan transparansi pengelolaan sebagai berikut;
1.    Pasal 13 Peraturan  Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 11 meliputi;
a.    Penyajian informasi anggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan keuangan daerah dihasilkan oleh Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah .
b.    Penyajian Informasi Keuangan Daerah melalui sistus resmi Pemerintah Daerah;
c.    Penyediaan Informasi Keuangan Daerah dalam rangka mendukung SIKD secara nasional;
2.    Pasal 4 ayat 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun  2013 menjelaskan bahwa Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah;
3.    Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 menjelaskan bahwa Standar Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah;
4.    Pasal 10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2013 menjelaskan bahwa pada saat Peraturan Menteri ini berlaku;
(1) Peraturan kepala daerah yang mengatur kebijakan akuntansi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal  4 ayat (5)  dan peraturan kepala daerah yang mengatur Standar Akuntansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4) ditetapkan paling lambat tanggal 31 Mei 2014;
(2) Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis akrual pada Pemerintah Daerah paling lambat mulai tahun anggaran 2015;
5.    Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Pernyataan No. 10 Tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang tidak dilanjutkan paragraph ke 52 dinyatakan bahwa dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Berbasis Akrual ini, entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP berbasis Kas  Menuju Akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah anggaran tahun 2010;
6.    Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah, Pernyataan No. 1 Tentang Penyajian Laporan Keuangan paragraph 107 dinyatakan bahwa Standar Akuntansi Pemerintahan ini dapat diberlakukan untuk laporan keuangan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran sampai tahun anggaran 2014;
7.    Pasal 113 ayat (1) Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2007 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintah;

Menurut keputusan Kepala Lembaga Administrasi  Negara  (LAN)  No.589/IX/6/Y/99 dalam   Sitompul   (2003),   akuntabilitas   diartikan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak/ berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.  Oleh karena itu, pemberlakuan undang-undang otonomi daerah harus dapat meningkatkan daya inovatif dari pemerintah daerah untuk dapat memberikan laporan pertanggung  jawaban  mengenai  pengelolaan keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektivitas kepada DPRD maupun masyarakat luas.
Osborne (1992) dalam Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa Akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan  pelayanan  apa,  siapa,  kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam  masyarakat,  apakah  pertanggungjawaban berjalan  seiring  dengan  kewenangan  yang  memadai, dan lain sebagainya.   Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas.
Menurut Mardismo (2004), akuntabilitas publik keuangan  daerah  adalah  pemberian  informasi  dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja keuangan daereah kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga hak-hak publik, yaitu hak untuk tau (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept information), dan hak untuk  didengar  aspirasinya (right to be  heard and to be listened to) dapat terpenuhi. Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa akuntabilitas  publik  meliputi  akuntabilitas  internal dan akuntabilitas eksternal.   Akuntabilitas internal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak internal  yang  berkepentingan  seperti  pegawai, pejabat pengelola keuangan negara, dan badan legislatif. Sedangkan akuntabilitas eksternal adalah pertanggungjawaban kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan,   seperti   pembayar   pajak,   media massa, pemberi dana bantuan, dan investor atau kreditor.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa  Kepala  Daerah  merupakan  pengelola keuangan daerah.   Untuk membantu Kepala Daerah dalam mengelola keuangan daerah dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Biro/Bagian Keuangan  selaku  pengelola  fiskal dan wakil pemerintah daerah kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan, serta kepada Kepala Satuan Kerja/Dinas selaku pengguna anggaran.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Pada setiap akhir tahun anggaran dan periode pemerintahan Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada DPRD sebagai wakil dari masyarakat yang telah mempercayakan pengelolaan sumber daya daerah.   Undang-undang republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 pasal 184 ayat 1 menyebutkan bahwa kepala   daerah   menyampaikan   rancangan   Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat  6  bulan  setelah  tahun  anggaran  berakhir. Pada ayat 2 disebutkan bahwa laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi Laporan Keuangan APBD, Neraca, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan   laporan   keuangan   Badan   Usaha   Milik Daerah.

a.   Penataan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum
Berikut disajikan beberapa Undang-Undang serta peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut:
1.    UU No. 17 Tahun 2003  tentang Keuangan Negara.
2.     UU No. 1 Tahun 2004  tentang Perbendaharaan Negara.
3.     UU No.  15  Tahun  2004   tentang Pemeriksaan  Pengelolaan  dan Tanggung Jawab  Keuangan Negara.
4.     UU No. 20 Tahun 1997  tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
5.   UU No.  33  Tahun  2004  tentang Perimbangan  Keuangan  Antara Pemerintah Pusat  dan  Pemerintah Daerah.
6.  PP No. 58 Tahun 2005  Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah:
7.  PP No.  14  Tahun  2005  Tentang  Tata  cara  penghapusan Piutang
8.  Negara/Daerah dan  Perubahannya oleh PP No. 33 Tahun 2006
9.     PP No. 57 Tahun 2005  Tentang Hibah kepada Daerah (Pelaksanaan Pasal 45, UU No. 33 Tahun 2004).
10.  PP No. 54 Tahun 2005  Tentang Pinjaman Daerah
11.  PP No. 71  Tahun  2010  Tentang  Standar  Akuntansi Pemerintahan yang  merupakan amandemen PP No. 24 Tahun 2005  tentang hal yang  sama.
12. Pengelolaan Keuangan Badan  Layanan  Umum:  PP No. 23  Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Badan  layanan Umum.
13. Pembagian Urusan  antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
14. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang telah di ubah oleh Permendagri No. 59 Tahun  2007  serta di  ubah oleh  Permendagri  No.  21  Tahun 2011.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan pembantuan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa Urusan Wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang bersekala kabupaten/kota meliputi:
1.    perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2.    perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3.    penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4.    penyediaan sarana dan prasarana umum;
5.    penanganan bidang kesehatan;
6.    penyelenggaraan pendidikan;
7.    penanggulangan masalah sosial;
  1. pelayanan bidang ketenagakerjaan;
  2. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
  3. pengendalian lingkungan hidup;
  4.  pelayanan pertanahan;
  5. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
  6. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  7. pelayanan administrasi penanaman modal;
  8. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
  9. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Pemerintah daerah berwenang dalam melaksanakan perencanaan dan pembangunan daerah. Pembangunan dapat diartikan sebagai `suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004). Dalam melaksanakan pembangunan daerah tentunya pemerintah daerah membutuhkan sumber pembiayaan untuk mebiayai pembangunan daerah. Dalam hal melaksanakan pembangunan daerah terhdapat sumber-sumber yang dapat digali untuk pelaksanaan pembangunan daerah yakni berasal dari pengelolaan sumber daya ekonomi daerah dan penerimaan dari pungutan pemerintah. Atas pengelolaan sumber daya ekonomi daerah untuk kepentingan rakyat yang sebesar-besarnya telah sesuai dengan amanah konstitusi yakni Undang-Undang Dasar 1945 amandemen Ke-IV Pasal 33 ayat (3) yakni Bumi dan air dan Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan terhadap pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah telah sesuai dengan amanah konstitusi juga yakni Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23A yakni pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
Sumber pendanaan pembangunan daerah dapat bersumber dari pengelolaan sumber daya ekonomi daerah dan penerimaan pungutan yang diatur dalam undang-undang. Kewenangan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara sebagai berikut;
-      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat (1)
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan

-      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 6 ayat (2) huruf c
Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan

-      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam pasal 6 ayat (2) huruf c:
a.    dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelolaan keuangan daerah  selaku pejabat pengelola APBD
b.    dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.  

-      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (2)
Dalam rangka Pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a.    Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b.    Menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c.    Melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
d.    Melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e.    Menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD”
-      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 10 ayat (3)
“Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut;
a.    Menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b.    Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.    Melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d.    Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e.    Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f.     Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggungjawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g.    Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya”

Hak-hak pemerintah daerah dalam mengelola penerimaan daerah dipertegas dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004 pasal 21 huruf d, e, f, g, dan h yakni
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak;
d.    Mengelola kekayaan daerah;
e.    Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f.     Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g.    Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h.    Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
Sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pemerintah daerah wajib untuk menyusun sistem informasi pengelolaan keuangan daerah yang mendasari pada peraturan perundang-undangan.
Didalam teknis pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang telah berhasil menelurkan paket regulasi sebagai berikut;
1.    Peraturan Daerah Tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah
2.    Peraturan Daerah Tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
3.    Peraturan Bupati Tentang Pedoman Pelaksanaan APBD;
4.    Peraturan Bupati Standar Harga di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Lumajang;
5.    Peraturan Bupati Pedoman Pelaksanaan APBD;
6.    Peraturan Bupati Sistem dan Prosedur Pertanggungjawaban APBD;
7.    Peraturan Bupati Kebijakan Akuntansi Pemerintah Kabupaten Lumajang;
8.    Peraturan Bupati Tentang Petunjuk Teknis Pajak Daerah;
9.    Peraturan Bupati Tentang Pajak Bumi dan Bangunan;
10. Petunjuk Teknis Hibah dan Bansos;
11. Dll.
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang dinamis, perkembangan paket regulasi pengelolaan keuangan daerah terus berkembang. Kondisi ini disebabkan proses pengelolaan keuangan daerah yang dinamis dalam pelaksanaannya.

b.   Penataan Kelembagaan
Setiap lingkungan tempat tinggal memiliki budaya yang dibuat oleh nenek moyang dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk dianut dan dilestarikan bersama. Perusahaan adalah sebuah lembaga yang terdiri dari banyak karyawan yang merupakan individu yang berasal dari latar belakang yang berbeda, yaitu lingkungan, agama, pendidikan, dan lain-lain. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perusahaan terdiri dari individu dengan kultur bawaan yang berbeda-beda.
Menurut Moeljono (2003) mengatakan bahwa budaya organisasi adalah sistem nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat dan dijadikan acuan perilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Budaya organisasi yang kuat memberikan para karyawan suatu pemahaman yang jelas dari tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi, mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya, karena tingginya tingkat kebersamaan. Budaya organisasi juga bisa memberikan kesetiaan dan komitmen bersama. Apabila karyawan diberikan pemahaman tentang budaya organisasi, maka setiap karyawan akan termotivasi dan semangat kerja untuk melakukan setiap tugas-tugas yang diberikan oleh perusahaan. Hal ini salah satu kunci untuk memperoleh prestasi kerja yang optimal, sehingga produktivitas meningkat untuk mencapai tujuan organisasi dan kinerja karyawan.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk menyusun organisasi perangkat     daerahnya.     Dasar     utama penyusunan  perangkat  daerah  dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan   daerah,   yang   terdiri   dari urusan  wajib  dan  urusan  pilihan,  namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Pembentukan kelembagaan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun  2003  pasal  120  yang mengungkapkan bahwa perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan. Dengan membentuk kelembagaan, maka pemerintah daerah dapat menyelenggarakan pemerintahan secara efisien untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan kelembagaan pemerintah daerah dilakukan berdasarkan Peraturan        Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang  Organisasi  Perangkat  Daerah. Dalam kebijakan tersebut tergambar bahwa perangkat daerah terbagi atas lima unsur yaitu :
1.  Unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan  dan  koordinasi,  diwadahi dalam Sekretariat.
2.  Unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat.
3.  Unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan.
4.  Unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan edaerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah.
5. Unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dinamika tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan menuntut pemerintah daerah untuk melakukan pemerintahan daerah kelembagaan sehingga bentuk kelembagaan daerah yang dibuat akan lebih efisien. Karakter ini ditunjukkan dengan struktur kelembagaan yang ramping. Kelembagaan yang besar, akan memungkinkan terjadinya overlap implementasi tugas pokok dan fungsi antar organisasi yang ada. Banyaknya keragaman organisasi   kelembagaan   yang   dibangun oleh    pemerintah    daerah    menciptakan potensi terjadinya duplikasi pelaksanaan tugas.  Kondisi ini selain menciptakan sulitnya koordinasi pada tatanan implementasi  kebijakan  publik  juga berakibat pada pemborosan penggunaan sumber daya. Banyaknya keragaman organisasi yang dibangun juga menciptakan semakin banyak kemungkinan terciptanya garis konflik diantara organisasi kelembagaan itu sendiri.
Organisasi pemerintah yang ramping akan menghasilkan kualitas pelayanan masyarakat yang lebih berkualitas serta memudahkan bagi penerima layanan. Kondisi ini menjadikan kelembagaan yang tidak berbelit-belit serta prosedur pelayanan yang   mudah   dipahami   oleh   masyarakat serta memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Pada  sebuah  organisasi pemerintahan, kesuksesan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas dan penyelenggaraan  pemerintahan, dipengaruhi oleh kepemimpinan, melalui kepemimpinan dan didukung oleh kapasitas organisasi pemerintahan yang memadai, maka penyelenggaraan tata pemerintahan yang  baik  (Good  Governance)  akan terwujud, sebaliknya kelemahan kepemimpinan merupakan salah satu sebab keruntuhan kinerja kelembagaan di Indonesia.(Istianto, 2009: 2).
Didalam perjalanan  pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kabupaten Lumajang telah melaksanakan perubahan struktur organisasi pada Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah yakni pada Tahun 2008 dan Tahun 2014. Kondisi ini berkaitan dengan kebutuhan akan pelayanan pada pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang. Sebagaimana diketahui untuk memenuhi reformasi pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah selanjutnya Peemerintah Daerah membentuk Dinas Pengelola Keuangan Daerah sebagai lembaga yang menjalankan fungsi manajerial pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya, pada tahun 2009 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-Undang ini memperluas peran pemerintah daerah dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah. Dimana dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini terdapat pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan yang selama ini pengelolaan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, kewenangannya beralih menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Kondisi ini menuntut pemerintah daerah segera menyesuaikan diri guna meningkatkan pelayanan di bidang perpajakan.
Selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang membentuk melakukan perombakan pada Pengelolaan Keuangan Daerah yakni dengan melakukan perubahan terhadap struktur organsiasi pengelolaan keuangan daerah. Dimana memperluas kewenangan Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah dalam hal pemungutan pajak daerah.

c.     Penataan sistem pengelolaan keuangan daerah
Pada era globalisasi seperti saat ini dalam   menjalankan   organisasi pemerintahan tantangan terbesarnya yaitu bagaimana melaksanakan keberhasilan pembangunan dengan tetap menerapkan komitmen   yang   tinggi   berupa   penerapan nilai  luhur  peradaban  bangsa  dan  prinsip good  governance  dalam  mewujudkan  cita- cita bangsa dan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. (Rohman, 2010).
Pengendalian intern menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah  yang  tercermin  dari  keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan. Ada tiga fungsi yang terlihat dari definisi tersebut yaitu: (a) keterandalan pelaporan keuangan,  (b)  efisiensi  dan  efektivitas operasi,  dan  (c)  kepatuhan  terhadap ketentuan dan peraturan perundang- undangan    yang    berlaku.    Pengendalian intern yang memadai akan menghasilkan Informasi  yang  bermanfaat  bagi  para pemakai  adalah informasi  yang mempunyai nilai.
Desi dan Ertambang (2008) beranggapan  bahwa  Dari  karakteristik laporan keuangan, ketepatwaktuan dan keterandalan merupakan dua unsur nilai informasi yang paling terkait dalam pengambilan keputusan manajemen. Ketepatwaktuan Laporan keuangan harus diimbangi  dengan  keterandalan   yang meyakini  informasi  laporan  keuangan tersebut  benar  dan  valid.  Untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, maka kapasitas sumber daya manusia  yang melaksanakan  sistem akuntansi sangatlah penting. Faktor kedua yang mempengaruhi keterandalan dan ketepatwaktuan pelaporan keuangan pemerintah adalah pemanfaatan teknologi informasi. Jadi kesimpulannya, nilai suatu laporan keuangan dilihat dari keterandalan penyajian pertanggungjawaban laporan keuangan  tersebut  dan  ketepatwaktuan dalam  memberikan  informasi  dalam melaporan keuangan setiap instansi yang berkepentingan (stakeholder) dalam pengambilan keputusan.
Tujuan sistem pengelolaan keuangan adalah memahami  garis  besar  lingkup  pengelolaan  keuangan  unit-unit  kerja, memahami siklus keuangan, memahami jenis-jenis laporan keuangan dan memahami proses pertanggungjawaban keuangan. Dasar hukum pertanggung- jawaban UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU; PP No. 24/2005   tentang   Standar   Akuntansi   Pemerintahan;   PP   No.   58/2005   tentang Keuangan  Daerah;  PP  No.  8/2006  tentang  Pelaporan  Keuangan  dan Kinerja Instansi Pemerintah.
Penerapan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) merupakan   seperangkat   aplikasi   terpadu yang dipergunakan sebagai alat bantu untuk meningkatkan efektifitas implementasi berbagai regulasi bidang pengelolaan keuangan   daerah   yang   didasarkan   pada asas efisiensi, ekonomis, efektif, transparan, akuntabel  dan  auditabel. Rohman  (2010) menyatakan   Usaha   tersebut   dapat diciptakan dari peran sumber daya manusia (aparatur pemerintah) yang efektif, efisien, bersih, dan profesional serta produktif. Mengingat kenyataan tersebut, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu kebutuhan masa depan.
Sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, pemerintah daerah diwajibkan mennerapkan standar akuntansi berbasis akrual dalam pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah. Kondisi ini berakibat kepada seluruh transaksi ekonomi harus dicatat pada saat transaksi tersebut terjadi. Pada Tahun Anggaran 2014, Pengelolaan Keuangan  Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang masih belum menggunakan sistem informasi  secara intergasi dan on line. Untuk peningkatan dan percepatan pelayanan kepada public  pada Tahun 2015 Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang melaksanakan intergasi terhadap pengelolaan keuangan daerah. Penyusunan Anggaran, realisasi dana APBD, pencatatan Pendapatan, Penetapan Ketetapan Pajak dan Retribusi dilaksanakan secara intergasi menggunakan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
Memperhatikan asas legalitas peraturan perundang-undangan pemerintah daerah tidak dapat lagi menolak untuk menyelenggaraan sistem informasi dan memberikan akses informasi kepada public. Pada sisi yang lain pemerintah daerah dihadapkan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber daya pendanaan pengelolaan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah. Keterbatasan inilah yang diharapkan untuk dapat diselesaikan dengan baik, sehingga pada kesimpulan pemerintah daerah telah dapat menyelenggarakan sistem informasi pengelolaan keuangan pemerintah daerah sesuai dengan amanat undang-undang dan dapat memberikan akses output informasi kepada publik.
Pemerintah Kabupaten Lumajang telah menggunakan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah. Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah dengan terbagi dalam beberapa subsistem yang masing-masing menggunakan basis data yang berbeda-beda. Untuk pengelolaan keuangan daerah mulai proses penganggaran, penggunaan anggaran, dan pelaporannya menggunakan sistem informasi dengan baisi data Microsoft Visual Foxpro, untuk pengelolaan barang milik daerah menggunakan sistem informasi barang daerah (SIMBADA) dengan basis data SQL, dan untuk pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan menggunkan basis data Oracle.
Dengan penggunaan berbagai macam bentuk basis data berdampak pada permasalahan integrasi output dari masing-masing proses aktivitas. Masing-masing aktivitas dengan kekhususan sistem informasi tersendiri membuat masing-masing aktivitas terputus akses dari aktivitas yang lain. Dan pada akhirnya informasi yang diharapkan tidak dapat disatukan satu dengan lainnya karena benturan penggunaan basis data masing-masing sistem informasi. Untuk itu, penyatuan sistem informasi tidak dapat lagi untuk ditunda, karena merupakan kebutuhan pemerintah daerah.
Lebih focus pada Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bahwa sistem informasi keuangan daerah (SIKD) merupakan sistem informasi yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah tersendiri dengan Developer dari luar Kabupaten Lumajang. Sejalan dengan kebutuhan akan menggunaan Sistem Informasi masih terdapat banyak hal yang perlu dipenuhi terhadap pengelolaan keuangan daerah. Terlebih dengan diundangkannya PP 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintah Junto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah Berbasis Akrual tentunya sistem informasi keuangan daerah milik Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang perlu untuk dikembangkan lebih sempurna lagi.
Standar akuntansi berbasis akrual adalah standar akuntansi dimana setiap transaksi ekonomi baik penerimaan dan pengeluaran, penambahan penambahan dan pengurangan aset, penambahan dan pengurangan utang dan ekuitas dicatat pada saat transaksi terjadi. Sedangkan standar akuntansi berbasis kas merupakan standar dimana pencatatan dilakukan pada saat kas diterima atau dikeluarkan. Sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 dijelaskan bahwa pemerintah daerah diwajibkan untuk menggunakan standar akuntansi berbasis akrual maksimal 31 Desember 2014.
Penerapan Standar Akuntansi Pemerintah Daerah berbasis akrual menimbulkan permasalahan tersendiri terhadap praktik pengelolaan keuangan daerah khususnya pengelolaan sistem informasi pola pertanggungjawaban pemerintah daerah. Satu sisi kebutuhan pengembangan dengan standar akuntansi pemerintah kas menuju akrual masih terus dikembangkan, satu sisi lain penerapan standar akuntansi berbasis akrual per 31 Desember 2014 tidak dapat ditunda lagi. Oleh karena itu perlu sekiranya memetakan kebutuhan perbaikan sistem informasi dengan berdasar kepada peraturan perundang-undangan.
Sistem Informasi yang digunakan Pemerintah Berbasis WEB BASE,  yang tercatat secara real time hal ini berakibat sebagai berikut;
1.   Pencatatan transaksi ekonomi baik PENDAPATAN, BELANJA, PEMBIAYAAN, PENETAPAN PAJAK, PENETAPAN RETRIBUSI dilaksanakan secara langsung pada sistem informasi. Kondisi ini berakibat pada setiap transaksi ekonomi akan tercatat dan terpantau oleh oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Akses informasi di masing-masing Satuan Kerja terpantau.
2.    Setiap melaksanakan transaksi pengadaan barang dan jasa, Berita Acara Serah Terima (BAST) Barang tercatat secara langsung dan di pantau oleh Dinas Pengelola Keuangan dan Aset Daerah. Aktivitas dan kesalahan dalam penerbitan berita Acara akan terus terpantau, apabila terdapat perubahan dan pergantian berita acara akan tercatat dalam sistem informasi, sehingga mudah untuk mendeteksi dugaan froud (Kecurangan) dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
3.    Seluruh Laporan baik Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Neraca, Laporan Operasional, Laporan Penyerapan Anggaran, Penggunaan Uang Persediaan, langsung tercatat dalam sistem informasi  berbasis Web. Aktivitas ini memudahkan satuan kerja dalam hal penyunan laporan. Dengan satu kali aktivitas (KLIK) seluruh laporan dapat segera tersusun.
4.    Terhadap perubahan sistem informasi dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) berbasis Tablet menjadi Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) perlu diperhatikan bahwa terhadap perubahan mendasar terhadap sistem informasi pengelolaan keuangan daerah. Untuk itu dimohon perhatian terhadap upaya DInas Pengelola Keuangan Dan Aset Daerah dalam alih teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia di masing-masing SKPD.
5.    Perlu diketahui bahwa Pemeritah Daerah telah melaksanakan MOU dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Timur perihal pelaksanaan pertanggungjawaban APBD. Bahwa setiap periode tertentu, seluruh transaksi ekonomi pemerintah daerah dilaporkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Mohon diperhatikan setiap pengelolaan keuangan di masing-masing SKPD karena pada saat ini telah terpantau oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
6.    Perlu diketahui bahwa Pemeritah Daerah telah melaksanakan MOU dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Timur Perihal akses terhadap Rekening Koran Pemerintah Daerah. Terhadap Pengeluaran dan Penerimaan Daerah langsung di pantau oleh Badan Pemeriksa Keuangan Kantor Perwakilan Jawa Timur.
Terhadap penataan sistem pengelolaan keuangan daerah ini Pemerintah Daerah melakukan perubahan terhadap sistem informasi yang ada dengan mengakomodir kebutuhan pengelolaan keuangan daerah. Menindaklanjuti akan kebutuhan sistem informasi yang memadai pada tahun 2015 Pemerintah Daerah menerapkan Pengelolaan Keuangan Daerah berbasis Web Base, dimana pengelolaan keuangan daerah dapat diakses dari tempat manapun dan waktu kapanpun. Sistem Pengelolaan Keuangan ini dikembangkan oleh Pihak ketiga. Sistem Pengelolaan Keuangan ini mengintegrasikan pengelolaan perencanaan anggaran daerah, penatausahaan pengelolaan keuangan daerah, dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya, diharapkan dengan perubahan pengelolaan keuangan daerah secara on line ini dapat meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan daerah dan Opini WTP yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya dapat dipertahankan dikemudian hari.
d.   Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Sumber daya manusia yang kompeten dan yang berkualitas sangat dibutuhkan untuk mendukung produktivitas dan aktivitas agar tujuan perusahaan atau suatu organisasi dapat tercapai dengan sempurna.  SDM merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global.
Dalam sebuah organisasi, sumber daya manusia (tenaga kerja) adalah komponen yang sangat penting, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada kualitas orang-orang yang berada didalamnya. Kita sama-sama tahu bahwa perubahan teknologi dan lingkungan yang bergerak demikian cepat dalam seluruh sendi kehidupan membuat persaingan pun menjadi demikian tajam. Oleh karenanya organisasi harus memiliki tenaga kerja yang berkompeten sehingga mampu merespon dengan cepat setiap perubahan yang ada, menganalisis dampaknya terhadap organisasi, serta menyiapkan  langkah  jitu untuk menghadapi berbagai kondisi.
Pelatihan (training) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja tenga kera.(Simamora:2006:273). Menurut pasal I ayat 9 undang-undang No.13 Tahun 2003. Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan dan pekerjaan. Pengembangan (development) diartikan sebagai penyiapan individu untuk memikul tanggung jawab yang berbeda atau yang Iebih tinggi dalam perusahaan, organisasi, lembaga atau instansi pendidikan. Menurut (Hani Handoko:2001:104) pengertian latihan dan pengembangan adalah berbeda. Latihan (training) dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagal ketrampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin. Yaitu latihan rnenyiapkan para karyawan (tenaga kerja) untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sekarang. Sedangkan pengembangan (Developrnent) mempunyai ruang lingkup Iebih luas dalam upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap dlan sifat-sifat kepribadian.
(Gomes:2003:197) Mengemukakan pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya. Menurutnya istilah pelatihan sering disamakan dengan istilah pengembangan, perbedaannya kalau pelatihan langsung terkait dengan performansi kerja pada pekerjaan yang sekarang, sedangkan pengembangan tidaklah harus, pengembangan mempunyai skcope yang lebih luas dandingkan dengan pelatihan. Pelatihan Iebih terarah pada peningkatan kemampuan dan keahlian SDM organisasi yang berkaitan dengan jabtan atau fungsi yang menjadi tanggung jawab individu yang bersangkutan saat ini ( current job oriented). Sasaran yang ingin dicapai dan suatu program pelatihan adalah peningkatan kinerja individu dalam jabatan atau fungsi saat ini.
Untuk memenuhi kebutuhan dasar pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Daerah selalu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki khususnya terkait dengan pengelolaan keuangan daerah. Terhadap upaya peningkatan sumberdaya manusia dalam kaitannya kompetensi pengelolaan keuangan daerah telah dilakukan hal-hal sebagai berikut;
a.    Melakukan bimbingan teknis pelaksanaan anggaran pemerintah daerah;
b.    Melaksanakan bimbingan teknis pelaksanaan penatausahaan pengelolaan keuangan daerah;
c.    Melaksanakan bimbingan teknis pelaksanaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah;
d.    Melaksanakan pembinaan peningkatan kapasitas petugas pajak daerah;
e.    Melaksanakan pelatihan pelayanan kepada publik;


2.     Korelasi Pengelolaan Keuangan Daerah yang Profesional, Transparan, dan Akuntabel dengan Tercapainya Tujuan Pembangunan Daerah
Visi pemerintah Kabupaten Lumajang adalah Terwujudnya Masyarakat Lumajang Yang Sejahtera, Dan Bermartabat. Untuk mencapai visi dimaksud pemerintah memiliki misi sebagai berikut;
1.  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan perekonomian daerah dengan pemanfaatan sumber daya alam yang berwawasan lingkungan, menciptakan iklim usaha yang kondusif, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelaku ekonomi.
2.  Meningkatkan masyarakat yang bermartabat melalui peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan peningkatan sumber daya manusia dan profesionalisme aparatur.
3.  Meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan kehidupan beragama, kualitas pendidikan, penanganan sosial dan pengentasan kemiskinan.
Untuk mencapai visi Terwujudnya Masyarakat Lumajang Yang Sejahtera dan Bermartabat pemerintah memiliki misi meningkatkan masyarakat yang bermartabat melalui peningkatan tata kelola pemerintahan yang baik dengan peningkatan sumberdaya manusia dan profesionalisme aparatur.
Profesionalisme adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Transparan di bidang manajemen berarti adanya keterbukaan dalam mengelola suatu kegiatan. Di lembaga pendidikan, bidang manajemen keuangan lembaga pendidikan, yaitu keterbukaan sumber keuangan dan jumlahnya, rincian penggunaan, dan pertanggungjawabannya harus jelas sehingga bias memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengetahiunya (Surya Darma,2007).
Osborne (1992) dalam Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa Akuntabilitas ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan  pelayanan  apa,  siapa,  kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban diserahkan, siapa yang bertanggung jawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam  masyarakat,  apakah  pertanggungjawaban berjalan  seiring  dengan  kewenangan  yang  memadai, dan lain sebagainya.   Konsep pelayanan ini dalam akuntabilitas belum memadai, maka harus diikuti dengan jiwa eterpreneurship pada pihak-pihak yang melaksanakan akuntabilitas.
Menurut Mardismo (2004), akuntabilitas publik keuangan  daerah  adalah  pemberian  informasi  dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja keuangan daereah kepada semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga hak-hak publik, yaitu hak untuk tau (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept information), dan hak untuk  didengar  aspirasinya (right to be  heard and to be listened to) dapat terpenuhi. Mardiasmo (2004) menyatakan bahwa akuntabilitas  publik  meliputi  akuntabilitas  internal dan akuntabilitas eksternal.   Akuntabilitas internal merupakan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak internal  yang  berkepentingan  seperti  pegawai, pejabat pengelola keuangan negara, dan badan legislatif.
Dengan menerapkan nilai profesionalisme, transparansi dan akuntabilias diharapkan terdapat peningkatan terhadap pelayanan masyarakat.




BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1.    Untuk membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang  profesional, transparan dan akuntabel terdapat pendekatan sebagai berikut;
a.    Penataan Peraturan Perundang-undangan sebagai landasan hukum;
b.    Penataan Kelembagaan
c.    Penataan sistem pengelolaan keuangan daerah
d.    Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan

2.    Dengan membangun sistem pengelolaan keuangan daerah yang  profesional, transparan dan akuntabel diharapkan mampu memberikan dorongan tercapainya visi dan misi pemerintah daerah.