Di tengah rentannya kondisi keuangan global, Industri perbankan Indonesia kembali mencatatkan kinerja yang baik sepanjang 2012, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Hal ini tecermin dari pertumbuhan kredit hingga September yang mencapai 23% per tahun, dengan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) meningkat 20% per tahun. Selain itu, total aset perbankan bertambah 19% menjadi Rp4.009 triliun dari Rp 3.372 triliun yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.
Ekspansi perbankan nasional ternyata juga diimbangi dengan perbaikan kualitas yang diindikasikan dengan penurunan non performing loan (NPL) menjadi 2,1%, jauh di bawah batas kritikal 5% yang ditetapkan Bank Indonesia.
Sementara itu, capital adequacy ratio (CAR) perbankan nasional mengalami kenaikan menjadi 17,3% dari 16,1% pada akhir 2011. Level ini jauh di atas batas minimum ketentuan Bank Indonesia yang sebesar 8%.
Kinerja perbankan nasional yang sangat baik ini merupakan cerminan dari kondisi perekonomian Indonesia, yang sepanjang 2012 mencatat pertumbuhan sekitar 6,34% per tahun hingga kuartal III/2012, serta kepercayaan pebisnis yang tinggi atas prospek ekonomi negeri ini.
Dari sisi investasi juga terlihat adanya peningkatan signifikan yang tecermin dari alokasi kredit produktif perbankan dengan porsi mencapai 70% dari total kredit.
Kredit untuk investasi ini tumbuh 30,3% sedangkan untuk modal kerja sekitar 22%.
Pertanyaannya, apakah pertumbuhan sektor perbankan pada 2013 masih akan stabil dan berkelanjutan?
Untuk menjawabnya, ada beberapa aspek yang harus diwaspadai. Seperti yang pernah dinyatakan Gubernur BI dalam pertemuan dengan para bankir beberapa waktu lalu bahwa ada beberapa risiko yang akan dihadapi perekonomian dan sektor keuangan, baik yang berasal dari eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, terdapat setidaknya dua risiko yang patut diperhatikan yakni ketidakpastian atas penyelesaian krisis di Zona Eropa dan fiscal cliff di Amerika Serikat yang tentunya akan mempengaruhi keseimbangan ekonomi dan sektor keuangan global.
Adapun risiko internal yang perlu diwaspadai adalah ketidakseimbangan sektor perdagangan, karena impor mengalami pertumbuhan tinggi seiring dengan peningkatan investasi, sedangkan kinerja ekspor masih terus tertekan akibat lemahnya permintaan pasar global dan rendahnya harga komoditas. Situasi ini menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, dan diperkirakan akan terus berlangsung hingga 2013.
Risiko ini tentunya akan meningkatkan risk appetite sehingga mendorong perbankan untuk lebih prudent dalam berekspansi pada tahun depan. Tambahan lagi, dengan kebijakan makro prudensial yang diterapkan Bank Indonesia dalam rangka mengendalikan pertumbuhan kredit yang bersifat nonproduktif, maka ekspansi industri perbankan nasional pada 2013 diperkirakan mengalami sedikit perlambatan. Meskipun demikian, secara keseluruhan kredit perbankan masih akan tetap tumbuh 20%-22% dan DPK sebesar 17%-19%, sesuai dengan pertumbuhan rata-rata historisnya.
KONSUMSI DAN INVESTASI
Dengan mempertimbangkan semua kondisi tadi, saya melihat ada beberapa peluang dan tantangan yang akan dihadapi industri perbankan kita. Pertama, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih terbuka dan diperkirakan mencapai 6,5% pada 2013, maka ruang bagi perbankan Indonesia untuk tumbuh juga sangat terbuka.
Ekonomi domestik yang ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi, masih tetap menjadi motor penggerak utama roda perekonomian nasional, di mana keduanya menyumbangkan sekitar 88% dari total produk domestik bruto (PDB).
Demikian pula jika dilihat secara sektoral, pertumbuhan tidak terfokus pada sektor tertentu saja. Sektor yang berorientasi domestic ekonomi seperti perdagangan, hotel dan restoran; telekomunikasi dan transportasi; serta konstruksi dan infrastruktur diproyeksikan akan menjadi penopang pertumbuhan.
Stabilitas ekonomi domestik ditunjukkan dengan relatif rendahnya inflasi maupun suku bunga, sehingga memberikan ruang yang lebih luas bagi perbankan untuk tumbuh.
Kedua, dengan kuatnya permodalan perbankan nasional yang tercermin dari CAR yang mencapai 17,3%, maka kemampuan perbankan untuk meningkatkan kredit masih terbuka, tentunya dengan memperhatikan kaidah prudensial perbankan.
Meskipun penguatan modal plus penerapan manajemen resiko akan memberikan jaminan kelangsungan bisnis bagi industri perbankan, factor pengawasan yang kuat secara internal dan eskternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relative beragam sehingga penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early warning system akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya risiko sistemik.
Ketiga, adanya fakta bahwa perbankan kita relatif terbebas dari kontaminasi aset-aset berisiko, baik yang berasal dari AS maupun Eropa. Orientasi bisnis bank yang masih tradisional dan lebih fokus pada pasar domestik, akan memberikan nilai.
Oleh karena itu, masuknya investor asing di industri perbankan diperkirakan akan berlanjut karena potensi pasar domestik masih begitu luas, khususnya sektor kredit konsumsi dan UMKM. Terlebih lagi, dengan kedalaman sektor perbankan kita yang masih rendah, di mana rasio total kredit terhadap PDB hanya sekitar 34%, maka ruang sektor perbankan Indonesia untuk tumbuh juga masih sangat besar.
Keempat, kesiapan yang begi tu kuat dari BI dalam mengawal arah kebijakan yang tepat di bidang moneter dan perbankan. Kesiapan bank sentral ini memiliki peran sangat penting dan menjadi salah satu faktor pendorong bagi kinerja perbankan nasional pada 2013.
Sejumlah kebijakan yang telah dan akan dikeluarkan BI dalam waktu dekat ini telah cukup menjawab beberapa tantangan yang dihadapi perbankan Indonesia. Di antaranya adalah aturan permodalan perbankan yang mengatur operasional bank berdasarkan besar modal dan diberlakukannya kebijakan multiple license. Lewat pemberlakuan kebijakan tersebut diharapkan akan ada insentif bagi bank untuk melakukan konsolidasi, baik dalam bentuk merger ataupun akuisisi guna memperkuat permodalan sehingga ke depannya jumlah bank akan lebih ramping dengan persaingan yang lebih sehat.
Tantangan lainnya adalah menyiapkan diri untuk menghadapi pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2015, mengingat Indonesia merupakan pasar potensial dengan ruang pertumbuhan yang sangat luas serta pencapaian kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perbankan di negara lain.
Sebagai contoh, return on asset perbankan Indonesia pada 2012 secara umum mencapai 3%, sedangkan perbankan Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1% dan 1,5%. Demikian pula dengan return on equity, perbankan Indonesia mencapai 21% jauh lebih tinggi daripada kedua negara tetangga tadi yang hanya 12% dan 17%. Kondisi ini tentunya akan menjadi daya tarik bagi bank/investor asing untuk masuk ke Indonesia.
Terkait dengan upaya memperkuat likuiditas valuta asing, BI telah mengeluarkan peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai Trustee, sehingga membuka kesempatan bagi bank nasional untuk mengelola dana valuta asing, yang sekarang lebih banyak dikelola perbankan asing di luar negeri. Agar kebijakan ini lebih efektif, pemerintah dan BI harus secara simultan mengawasi implementasi kebijakan mengenai penempatan devisa hasil ekspor.
FUNGSI INTERMEDIASI
Selain itu, dalam rangka penguatan fungsi intermediasi, penyaluran kredit kepada sektor UMKM dan kredit produktif perlu terus ditingkatkan, guna mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif yang menyentuh masyarakat secara luas.
Dalam hal ini, setiap bank wajib menyalurkan kredit ke UMKM sebesar 20% dari portofolio kreditnya. Saat ini, kredit ke sektor tersebut yang bersifat produktif baru berkisar 23% dari total kredit perbankan. Padahal dari pengalaman selama ini terbukti bahwa UMKM merupakan sektor yang memiliki daya tahan tinggi menghadapi krisis ekonomi.
Oleh karena itu, membuka akses kredit perbankan bagi sektor ini, khususnya usaha mikro dan kecil, merupakan sebuah kebijakan yang tepat termasuk melalui pemberlakuan kebijakan branchless banking. Selanjutnya, diversifikasi pada sektor berbasis pasar domestic dengan lokal konten yang dominan seperti consumer good, energi, dan infrastruktur akan menjadi bagian dari strategi untuk mempertahankan pertumbuhan kredit produktif.
Aspek lain yang tak boleh diabaikan adalah tersedianya protocol manajemen krisis. Hal ini penting sebagai bentuk antisipasi terhadap ketidakpastian global yang semakin meningkat sehingga membutuhkan kesiapan untuk mengambil langkah-langkah mitigasi secara cepat dan tepat agar dapat segera mengisolasi dam pak krisis terhadap sistem keuangan.
Beralihnya fungsi pengawasan perbankan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2014 memunculkan harapan kuat bahwa fungsi pengawasan pada lembaga keuangan akan lebih terkoordinasi, terutama dalam mengantisipasi imbas krisis global yang terjadi sekarang. Masa transisi 1 tahun perlu dijadikan sebagai tahap pematangan di tingkat implementasi dari semua pihak yang terlibat, agar fungsi dan harapan dari terbentuknya OJK benar-benar dapat tercapai.
Bagaimanapun 2013 merupakan tahun ujian yang harus dihadapi industri perbankan nasional. Suka atau tidak, risiko ekonomi dan keuangan global akan menimbulkan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia. Ruang perbankan nasional untuk tumbuh masih tetap ada, akan tetapi persaingannya diperkirakan kian ketat. Hanya bank-bank yang sehat, efisien dan memiliki strategi tepat yang mampu menghadapi tantangan sekaligus memanfaatkan peluang yang ada.
Diambil dari http://www.bisnis.com/articles/peluang-and-tantangan-perbankan-2013
0 komentar:
Posting Komentar